Langsung ke konten utama

Postingan

Kue Lebaran Jaman Dulu

Apa hal yang paling menyenangkan di saat dulu ketika akan menyambut lebaran tiba ?, jawabannya bagi saya adalah waktu satu pekan sebelum lebaran itu sendiri. Disaat itulah almarhum ibu saya sudah mulai mengeluarkan "amunisi" khusus untuk membuat penganan atau kue untuk disuguhkan kepada saudara dan para tamu nanti di hari raya. Mixer merek Sharp model jadul kembali akan beraksi dengan dengungan suaranya yang khas di telinga, oven dari kaleng aluminium yang didepannya ada kaca untuk mengintip apa kue keringnya sudah masak mengembang atau belum (sekilas seperti tv 14 Inch), juga loyang-loyang kue yang mungkin penampakkannya hanya terlihat setahun sekali pun akan disiapkan.  Di momen seminggu sebelum liburan itu biasanya saya akan mendapat tugas sebagai "Duta Warung", yaitu khusus bagian disuruh-suruh ibu untuk membeli vanilli, margarin, dan bahan-bahan kue lain yang kadang mendadak dibutuhkan, pastinya tidak lupa minyak tanah (sebelum jaman kompor gas) ha...

Hujan dan Jatuh

Jatuh selalu menandakan sesuatu yang negatif atau tidak baik. Jatuh juga kadang setara dengan rasa sakit dan meninggalkan luka. Manusia pastinya tidak mau jatuh, jatuh dalam arti sebenarnya ataupun dalam arti lainnya. Manusia akan sangat menghindari kata ini. Walau terkadang ada beberapa yang mengatakan, ada sesekali kita harus merasa jatuh agar ada instrospeksi dalam kehidupan, jatuh juga bisa menjadi awal yang baru untuk melangkah lebih baik lagi. Saya pun sama, tidak mau mengalami itu, karena pasti sakit rasanya. Sebagai manusia tentunya ingin terus berada dalam kestabilan, keseimbangan hidup sampai waktu nanti. Hanya satu jatuh yang saya suka, yaitu jatuhnya air hujan ke bumi. Hujan memberikan ketenangan dan nuansa lain. Mau deras ataupun gerimis, hujan selalu memberi sensasi tersendiri. Saya menyukai air hujan, karena kadang jatuhnya air hujan bisa menutupi air mata yang kadang menetes tanpa sebab. Hujan menjadi alat untuk "memanipulasi" bahwa ada air mata yang kelua...

Mudik

Bila kita lihat berita akhir-akhir ini, pastilah berita Mudik akan mendominasi. Menjelang Idul Fitri, memanglah suatu kelaziman bahwa Mudik menjadi sebuah tradisi yang  dilakukan, orang akan berbondong-bondong kembali ke kampung halamannya, tidak peduli jauh jarak yang ditempuh, berapa biaya yang diperlukan, waktu yang lama karena kemacetan maupun halangan-halangan lainnya, yang penting harus Mudik. Titik !. Mudik ( Mulih Dhisik ) ? Dari beberapa literatur yang saya dapat, ada yang berpendapat bahwa Mudik berasal dari kata Mulih Dhisik (Bhs.Jawa), yang berarti pulang dulu. Kemudian ada juga yang menuliskan bahwa Mudik adalah berarti Udik yang berarti kampung halaman, namun apapun itu, baik Mulih Dhisik maupun Udik , maknanya sama, yaitu pulang ke kampung halaman. Pertanyaannya adalah pulang dari mana ? Ya pulang dari kota. Kota yang untuk sementara waktu menjadi tempat untuk mencari nafkah kehidupan, kota juga bisa didefinisikan tempat yang dianggap lebih baik unt...

Mahalnya Demokrasi

Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan yang pertama, masih di judul Haruskah Pemimpin Dipilih Secara Langsung. Bila pada tulisan sebelumnya menyinggung beberapa alasan mengapa kita harus mulai memikirkan alternatif lain selain pemilihan langsung untuk para pemimpin di tingkat lokal (daerah), maka pada tulisan kedua ini akan lebih menyoroti besarnya biaya untuk penyelenggaraan pemilu di tingkat daerah dan apakah dengan tingginya biaya tersebut akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas? Politik Memerlukan Biaya Kita ketahui bahwa politik itu memiliki cost atau biaya  dan modal tertentu, Cost tersebut bisa berarti biaya (baca : uang) ataupun modal-modal lain yang berbentuk seperti elektabilitas (tingkat keterpilihan), popularitas (keterkenalan) dan kapabilitas (kemampuan dari si calon itu sendiri). Dari semuanya modal tersebut, sepertinya berkaitan, untuk mendongrak elektabilitas dan popularitasnya, maka si calon haruslah mulai aktif untuk memperkenalkan dirinya ke masyara...

Haruskah Pemimpin Dipilih Secara Langsung?

Tanggal 20 Maret 2024 kemarin, usai sudah penghitungan atau rekapitulasi suara pemilu yang berlangsung kurang lebih 1 (satu) bulan lamanya, dimulai secara bertahap, dari tingkat yang paling bawah hingga berakhir di tingkat nasional. Di sela-sela penghitungan itu, banyak terjadi dinamika dan gejolak yang mewarnai proses tersebut, tuduhan kecurangan yang dialamatkan kepada calon tertentu, kemudian tudingan atas ketidakbecusan KPU terutama pada aplikasi yang digunakan yaitu SIREKAP juga ikut mencuat, sehingga membuat pemberitaan tentang pemilu ini berlangsung panas. Perdebatan atau pro-kontra tentang pemilu tersebut, bila tidak segera dilakukan perbaikan, bukan hal yang mustahil akan terjadi lagi untuk siklus 5 (lima) tahunan berikutnya. Ini ibarat kita mengulang kesalahan di kubangan yang sama pula. Haruskah Pemilihan Secara Langsung ?. Tentang keriuhan pasca pelaksanaan pemilu 2024 ini, muncul pertanyaan, sejauh manakah pentingnya pemilu bagi bangsa kita? Lebih khususnya apakah memang u...

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Bima

  S aya kira, kita semua pernah mendengar nama ini, ketika disebut nama Bima, yang terbayang adalah sosoknya yang tinggi besar, bersuara menggelegar, keberaniannya yang tinggi dengan berbagai kesaktian yang dimilikinya. Dalam dunia perwayangan dan kisah sastra Mahabrata, dia adalah anak kedua setelah Yudistira, kemudian dia punya adik Arjuna dan si kembar Nakula Sadewa. Bima digambarkan memiliki keahlian bertempur dengan senjata Ghada, konon katanya, orang yang dipukul oleh Ghada tersebut bisa remuk dan hancur lebur tulang dan semua sendinya, mengerikan bukan? Tapi bukan itu yang akan dibahas dalam tulisan ini, saya lebih tertarik dengan karakter yang dimiliki oleh Bima itu sendiri. Dikisahkan, Bima adalah seseorang yang keras kepala, pemberani, berpenampilan dan berbicara kasar, tapi komitmen dengan janjinya dan apa yang dia lakukan, sesuai dengan apa yang dikatakannya. Bima yang Urakan. Bima tak suka berpura-pura, dia akan berkata A bila itu memang A, dan B jika itu B. Dia me...

Pagi

Saya penyuka pagi hari, terutama antara jam 5 sampai jam 10 pagi, entah kenapa di jam-jam tersebut rasanya "baterai" diri ini terasa full, mood bekerja, mood beraktifitas terasa berada dalam kondisi maksimal, semua pekerjaan bisa terselesaikan dengan baik. Setelah jam-jam itu, biasanya mood akan sedikit berubah, sedikit menurun dan biasanya ada rasa jemu atau bosan.  Apalagi di hari Minggu, dimana hari itu hari libur total. Rasanya semua pekerjaan rumah pun bisa saya lakukan, tapi ya itu, jam 10 biasanya menjadi batas antara keinginan untuk beraktivitas dan istirahat.  Dari artikel yang pernah saya baca, setiap orang memang punya "waktu" aktivitasnya sendiri, maka tak heran bila ada orang yang mampu mengerjakan pekerjaannya secara maksimal di sore hari, bahkan ada yang kuat untuk begadang sepanjang malam untuk menyelesaikan pekerjaannya.  Kembali ke soal pagi hari, sensasi rasanya memang menyegarkan, rasakanlah angin yang berhembus di pagi hari itu, dingin tapi meny...

Belajar Menulis

Ada yang bertanya, sejak kapan saya menulis? Jawaban saya biasanya sekenanya saja, yaitu sejak saya bisa membaca. Bagi saya, menulis itu merupakan kelanjutan dari membaca, biasanya ilham atau sumber ide yang saya dapatkan memang setelah membaca buku, lalu setelah itu ide biasanya bertebaran di dalam kepala dan biasanya kalau tidak segera disimpan dalam bentuk tulisan, ide-ide itu akan hilang. Jawaban itu juga yang saya berikan bila ada yang bertanya bagaimana caranya agar bisa menulis, maka membaca dulu adalah kuncinya. Percayalah, antara membaca dan menulis itu erat sangat kaitannya. Obsesi jadi penulis. Dari sejak sebelum sekolah dasar, saya memang hobi membaca, biasanya yang dibaca adalah majalah anak-anak si Kuncung (masih adakah si Kuncung sekarang? ah, saya merindukannya), kemudian BOBO dan Ananda, oh iya lupa, ada satu lagi majalah TomTom. Dari beberapa majalah itu, saya seakan dibawa berimajinasi ke alam lain, saya masih ingat sebuah tulisan di Majalah Kuncung, yaitu kisah s...

Menangis

Siapa diantara kita yang belum pernah menangis ?, sepertinya tidak ada ya, bagaimana tidak, toh kelahiran kita ke dunia ini juga diawali dengan suara tangisan. Hanya saja semakin bertambah usia kita, tangisan seakan semakin memiliki banyak makna, tidak lagi seperti kita baru lahir, ataupun juga tangisan ketika bayi lapar, keluarnya air mata di saat tumbuh dewasa dan menua ternyata bisa memiliki artinya tersendiri. Kadang, tangisan di periode ini membingungkan, tangisan tidak lagi menjadi simbol dari kesedihan, bahkan kegembiraan dan keharuan pun bisa membuat kita meneteskan air mata. Pernah saya melihat sebuah tangis yang meledak dari orangtua yang bahagia ketika melihat anaknya telah diwisuda, anak itu dirangkul sedemikian eratnya. Saya meyakini bahwa tangis itu adalah bahasa mereka yang menandakan orangtua itu sangat terharu melihat keberhasilan anaknya dan bisa saja menandakan mereka bersyukur bahwa buah hatinya telah menyelesaikan jenjang pendidikannya 1 (satu) tingkat lebih tingg...

Makna di Balik Munggahan dan Papajar

Menjelang datangnya bulan suci Ramadhan yang tersisa tinggal beberapa hari lagi, muncul permintaan dari beberapa rekan kerja untuk membahas tentang tradisi atau kebiasaan yang sering dilakukan oleh umat Islam terutama di wilayah Jawa Barat, yakni Munggahan dan Papajar. Jujur saja bagi penulis, ini suatu tantangan tersendiri, karena tradisi ini adalah sesuatu yang sering penulis dengar, tapi mungkin mengenai asal-usul dan bagaimana kebiasaan ini bisa hadir, perlu diteliti lagi lebih lanjut Munggahan Di beberapa status WA, Facebook dan media sosial lainnya dari kawan-kawan penulis, beberapa hari belakangan ini memang "diramaikan" dengan seringnya di-upload kegiatan kumpul-kumpul di suatu tempat, yang biasanya diakhiri dengan acara makan-makan, baik itu botram ataupun ngaliweut, mereka menyebut tradisi ini dengan Munggahan. Seakan menjadi suatu ciri yang khas dan melekat terutama menjelang bulan suci ramadhan. Dari beberapa literatur, kata Munggahan itu sendiri berasal dari k...

Fenomena Komeng di Pemilu 2024, Antara Popularitas, Elektabilitas dan Kapabilitas.

Di tengah hiruk-pikuk pemilu 2024 yang memunculkan rivalitas sengit antara calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 1, 2 dan 3, muncul sebuah fenomena mengejutkan dengan perolehan suara dari seorang komedian yang bernama Komeng yang sampai penulis menulis artikel ini, perolehan suaranya menembus hingga 1,7 juta pemilih. Disebut mengejutkan karena sebelumnya, siapa yang mengira suara Komeng atau yang bernama asli Alfiansyah itu bisa menjulang sedemikian rupa, sehingga besar kemungkinan dia akan lolos dan menjadi senator dari daerah pemilihan Jawa Barat. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa Komeng bisa memperoleh suara sebanyak itu, saya mencoba menyimpulkan beberapa hal dari peristiwa itu. Popularitas. Untuk terjun kedalam dunia politik praktis, minimalnya ada beberapa syarat yang mendukung agar kita bisa menduduki jabatan-jabatan politis tertentu. Salah satunya adalah efek keterkenalan dari si calon tersebut atau dengan kata lain popularitas. Untuk faktor ini, Komen...

Televisi

Sudah lama rasanya tidak melihat televisi secara intens, hanya sekilas-sekilas saja dan itupun terbatas pada acara olahraga dan berita. Kehadiran Smartphone rupanya sudah sedikit mengubah arah minat saya pada televisi. Dulu, alat yang bentuknya kebanyakan berbentuk kotak ini pernah membius kita dengan acara-acaranya, apalagi di masa kanak-kanak. Walaupun mungkin hanya ada TVRI saja sebagai stasiun televisinya, tapi tentu kita akan banyak pengalaman berkesan yang tertanam dalam ingatan kita. Bagaimana selalu kita menunggu kehadiran Si Unyil yang membuat kita rela menunggu dan tidak beranjak kemana-mana, kemudian film-film yang menarik apalagi di hari Minggu, sampai acara Dunia Dalam Berita yang pastinya kita tongkrongin sampai malam (bagi saya, Dunia Dalam Berita itu juga sebagai alarm diri, karena selesainya acara itu di jam 21.30, menandakan itu waktunya untuk tidur karena besok paginya harus masuk sekolah). Kita seakan ketergantungan pada televisi. Informasi, hiburan segalanya ada...

Hujan dan setelahnya

  Saya menyukai hujan, jatuhnya butiran air dari langit itu selalu menjadi momen yang ditunggu. Dulu semasa masih di sekolah dasar, turunnya hujan apalagi kalau pulang sekolah adalah hal yang menggembirakan, setelah bel sekolah berbunyi, buku langsung dimasukkan kedalam tas, lalu kemudian saya berlari kecil menembus hujan itu, tidak mempedulikan baju seragam, sepatu, tas yang nantinya basah, yang penting saya bahagia walau nantinya akan kena omelan dari ibu setibanya di rumah. Sekarang setelah dewasa, tentu tidak seperti itu lagi, rasanya agak ragu juga untuk menembus hujan itu, sekarang harus dilengkapi dengan mantel jas hujan. Tapi, kegembiraan dan keceriaannya masih tetap sama. Saat ini hujan saya nikmati dengan perenungan lebih dalam, suasana sendu dan syahdu serta suara rintik air yang jatuh diatas genting, seakan menjadi ritme tersendiri yang berjalan dengan teratur. Kadang terdengar lirih ketika hujan tak terlalu besar, dan terdengar dalam tempo cepat ketika hujan itu tiba...

Keheningan

Saya menyukai keheningan, karena dalam keheningan, saya bisa merenung dengan tenang. Kebisingan dari dunia luar, apalagi yang dari buatan manusia, kadang membuat kepala ini sakit, mood bisa berubah tiba-tiba dan rasa tidak nyaman. Tentu saja, kita tidak bisa menghindari kebisingan, kehidupan yang serba cepat sepertinya juga ada hubungannya dengan kebisingan itu sendiri. Bagaimana kita bisa hindari apabila suara deru knalpot dan motor lalu-lalang di hadapan kita, bagaimana pula bisa kita tenang apabila yang kita hadapi sehari-hari selalu berdekatan dengan sumber suara, ada yang berteriak, ada yang saling mengumpat atau mungkin marah-marah yang tak jelas. Kadang, kebisingan tidak hanya berbentuk suara, secara visual juga bisa. Cobalah kita pantengin sosial media kita, FB, IG, X atau apapun itu, bila kita perhatikan pikiran kita diriuhkan dengan status-status para pertemanan kita, baik yang kita kenal ataupun tidak, mereka semua mengeluhkan tentang problematika mereka masing-masing, sehin...