Langsung ke konten utama

Keheningan


Saya menyukai keheningan, karena dalam keheningan, saya bisa merenung dengan tenang. Kebisingan dari dunia luar, apalagi yang dari buatan manusia, kadang membuat kepala ini sakit, mood bisa berubah tiba-tiba dan rasa tidak nyaman.

Tentu saja, kita tidak bisa menghindari kebisingan, kehidupan yang serba cepat sepertinya juga ada hubungannya dengan kebisingan itu sendiri. Bagaimana kita bisa hindari apabila suara deru knalpot dan motor lalu-lalang di hadapan kita, bagaimana pula bisa kita tenang apabila yang kita hadapi sehari-hari selalu berdekatan dengan sumber suara, ada yang berteriak, ada yang saling mengumpat atau mungkin marah-marah yang tak jelas.

Kadang, kebisingan tidak hanya berbentuk suara, secara visual juga bisa. Cobalah kita pantengin sosial media kita, FB, IG, X atau apapun itu, bila kita perhatikan pikiran kita diriuhkan dengan status-status para pertemanan kita, baik yang kita kenal ataupun tidak, mereka semua mengeluhkan tentang problematika mereka masing-masing, sehingga secara tidak langsung kita ikut tahu dan yang tidak kalah menggelikannya adalah kita jadi ikut memikirkan pula.

Belum lagi sekarang di momen-momen pemilu presiden, pikiran kita terdistraksi dengan saling serang antar para pendukung fanatik para Capres yang saling menjagokan jagoannya masing-masing, bangun tidur kadang WA grup penuh dengan perang antar pendukung, saling sindir, saling hujat seakan menjadi santapan pembuka ketika kita baru saja membuka mata.

Oleh karena itu, kadang saya menarik diri dari semua kebisingan itu, terkadang saya tak menyentuh medsos untuk sementara waktu, pun dengan televisi, yang saya inginkan hanya keheningan sementara. Biasanya waktu malam adalah waktu yang terbaik. Keheningan membawa saya sementara kedalam alam ketenangan, membuat saya bisa merenung tentang apa yang telah saya lewatkan, atau apa yang harus saya hadapi selanjutnya.

Keheningan seakan menjelaskan bahwa saya menjadi diri saya seutuhnya, dimana saya bisa memahami saya ini siapa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Catatan Sepakbola (Bagian 1) Melawan Jepang, Kita Realistis Saja.

Tulisan ini dibuat beberapa hari setelah pertandingan Timnas Indonesia melawan Timnas Jepang dalam rangka kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Seperti yang kita ketahui, hasilnya adalah kita kalah dengan telak 4-0, menyesakkan memang, apalagi kita kalah di kandang sendiri yang dianggap "sakral" oleh pecinta sepak bola tanah air, yaitu Gelora Bung Karno. Kecewa? Pasti, itu adalah hasil yang negatif, tapi rasanya kekecewaan itu juga bisa berubah menjadi kebanggaan, yaitu masihlah mending kita kalah 4-0, lihatlah Timnas China, mereka malah lebih parah dipermak dengan skor 7-0, kalau begitu masih untunglah kita ya?... Timnas Jepang Unggul Segalanya Soal Timnas Jepang, tak usahlah lagi kita ragukan lagi kualitasnya, level mereka jauh diatas kita, mau dilihat dari apapun, rangking FIFA? mereka jauh diatas kita, Trofi Piala Asia? mereka langganan juara, atau mau kita banding-bandingan pengalaman di Piala Dunia? Mereka sejak 1998 rutin bermain di even 4 tahunan itu,bagaiman...