Langsung ke konten utama

Hujan dan setelahnya

 

Saya menyukai hujan, jatuhnya butiran air dari langit itu selalu menjadi momen yang ditunggu. Dulu semasa masih di sekolah dasar, turunnya hujan apalagi kalau pulang sekolah adalah hal yang menggembirakan, setelah bel sekolah berbunyi, buku langsung dimasukkan kedalam tas, lalu kemudian saya berlari kecil menembus hujan itu, tidak mempedulikan baju seragam, sepatu, tas yang nantinya basah, yang penting saya bahagia walau nantinya akan kena omelan dari ibu setibanya di rumah.
Sekarang setelah dewasa, tentu tidak seperti itu lagi, rasanya agak ragu juga untuk menembus hujan itu, sekarang harus dilengkapi dengan mantel jas hujan. Tapi, kegembiraan dan keceriaannya masih tetap sama.
Saat ini hujan saya nikmati dengan perenungan lebih dalam, suasana sendu dan syahdu serta suara rintik air yang jatuh diatas genting, seakan menjadi ritme tersendiri yang berjalan dengan teratur. Kadang terdengar lirih ketika hujan tak terlalu besar, dan terdengar dalam tempo cepat ketika hujan itu tiba-tiba membesar, persis seperti kehidupan kita yang kadang ada fase melambat atau cepat.
Hujan juga kadang memberikan waktu kita untuk jeda. Hampir setiap orang yang saya temui, terutama yang menggunakan kendaraan roda dua ataupun yang beraktifitas diluar, meminggirkan kendaraan dan menghentikan dulu aktifitasnya, mereka meneduh sementara seakan menegaskan bahwa sekaranglah alam yang berkuasa dan manusia hanya mahluk lemah, seakan manusia mempersilakan alam untuk bekerja.
Suasana setelah hujan reda, itu juga saya sukai. Biasanya hawa sejuk setelah hujan, suara binatang yang bersahutan yang kadang entah dimana keberadaannya membuat alam sekitar menjadi indah. Tanah yang basah disertai genangan air yang bila kita injak mengeluarkan suara cipratan air, menjadi sebuah kenangan sendiri.
Saya selalu mensyukuri hujan, walau terkadang ada rasa takut ketika suara petir juga menggelegar.
Saya selalu menyukai hujan, karena hujan adalah doa kita yang terkabul ketika di musim kemarau kita sangat mengharapkannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Stasiun Sukabumi

Rasanya seperti baru kemarin, saya bisa leluasa masuk ke Stasiun Sukabumi, melihat keriuhan para penumpang kereta yang hendak berangkat ke Cianjur dan Bogor.  Berbekal karcis seperti kartu gapleh yang nantinya akan dibolongi oleh kondektur, para penumpang yang kebanyakan para pedagang itu berjejalan dalam suasana hiruk-pikuk di dalam gerbong. Ditingkahi dengan suara pedagang asongan dan para pengamen, semuanya bersatu dengan aroma keringat dan aroma lainnya. Semuanya saat itu belum teratur, tapi apa pedulinya, belum ada sepertinya pengaturan tempat duduk, pengamanan maksimal dari petugas keamanan dsb, sehingga saya pun dulu bisa bebas keluar masuk stasiun itu hanya untuk mengagumi sebuah jenis transportasi yang berukuran besar yaitu kereta api. Suasana tahun 90-an itu masih terekam dengan jelas, bagaimana sebuah sistem perkereta-apian saat itu masih berjalan dengan semrawut, jauh dari kata keteraturan. Lalu setelah sekian lama, saya mencoba lagi, berangkat dari titik awal Stasiun S...