Langsung ke konten utama

Haruskah Pemimpin Dipilih Secara Langsung?

Tanggal 20 Maret 2024 kemarin, usai sudah penghitungan atau rekapitulasi suara pemilu yang berlangsung kurang lebih 1 (satu) bulan lamanya, dimulai secara bertahap, dari tingkat yang paling bawah hingga berakhir di tingkat nasional.
Di sela-sela penghitungan itu, banyak terjadi dinamika dan gejolak yang mewarnai proses tersebut, tuduhan kecurangan yang dialamatkan kepada calon tertentu, kemudian tudingan atas ketidakbecusan KPU terutama pada aplikasi yang digunakan yaitu SIREKAP juga ikut mencuat, sehingga membuat pemberitaan tentang pemilu ini berlangsung panas.
Perdebatan atau pro-kontra tentang pemilu tersebut, bila tidak segera dilakukan perbaikan, bukan hal yang mustahil akan terjadi lagi untuk siklus 5 (lima) tahunan berikutnya. Ini ibarat kita mengulang kesalahan di kubangan yang sama pula.

Haruskah Pemilihan Secara Langsung ?.
Tentang keriuhan pasca pelaksanaan pemilu 2024 ini, muncul pertanyaan, sejauh manakah pentingnya pemilu bagi bangsa kita? Lebih khususnya apakah memang untuk memilih sepasang pemimpin haruskah dilangsungkan secara langsung? Tidak bisakah misalnya untuk pemilu itu hanya dilakukan untuk tingkat pusat saja (presiden & wakil presiden) ?, kemudian untuk tingkat provinsi (PIlgub), Kabupaten dan Kotamadya (Pilbup/Pilwalkot) diberikan saja kewenangan itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sama seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.
Secara yuridis tentu saja bisa, asalkan peraturan atau regulasinya dirubah terlebih dahulu, terlebih sebagai negara yang berpedoman pada konstitusi, tentunya aturan-aturan bernegara harus kita ikuti.

Demokrasi, pengakuan hak rakyat?
Pertanyaan selanjutnya, apakah bila pemilihan pemimpin daerah ditiadakan, kemudian diserahkan kepada parlemen tingkat daerah masihkah masyarakat mau menerima kenyataan itu ?, setelah selama ini atas nama demokrasi  rakyat merasa "diakui" keberadaannya, ketika suara mereka secara pribadi ikut dihitung dan ikut menentukan pula siapa pemimpin yang akan terpilih dalam 5 (lima) tahun pembangunan daerah mereka kedepannya, dan masyarakat tidak merasa membeli kucing dalam karung, karena menyerahkan pemilihan pemimpin mereka kepada para anggota parlemen daerah.
Jawabannya tentu relatif. Selama ini kita menganggap bahwa demokrasi adalah jalan terbaik yang kita pilih dalam bernegara, terutama dalam hal memilih pemimpin. Selama ini kita menganggap bahwa suara rakyat itu sama, suara rakyat biasa akan tetap sama dihitung sebagai satu suara yang sama dengan menteri atau presiden sekalipun, sehingga disini pemilihan secara langsung akan dianggap sebagai sebuah pengakuan akan  persamaan hak dan derajat rakyat dibawah naungan konstitusi. 
Tapi kita jangan lupa juga bahwa demokrasi yang kita anut tentunya harus pula disesuaikan gaya demokrasi Pancasila yang telah kita sepakati bersama, walaupun mungkin sulit dicari padanan kata atau definisi tentang apa itu demokrasi Pancasila, tapi jenis demokrasi ini menawarkan alternatif lain, yaitu demokrasi melalui permusyawaratan dan perwakilan. Sehingga diskusi tentang ide atau saran menyerahkan kembali pemilihan pemimpin tingkat lokal dan daerah, bukanlah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Negara kita pernah mengalami itu, yaitu pada masa Orde Baru, disertai kelebihan dan kekurangan yang menyertainya.
(bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Stasiun Sukabumi

Rasanya seperti baru kemarin, saya bisa leluasa masuk ke Stasiun Sukabumi, melihat keriuhan para penumpang kereta yang hendak berangkat ke Cianjur dan Bogor.  Berbekal karcis seperti kartu gapleh yang nantinya akan dibolongi oleh kondektur, para penumpang yang kebanyakan para pedagang itu berjejalan dalam suasana hiruk-pikuk di dalam gerbong. Ditingkahi dengan suara pedagang asongan dan para pengamen, semuanya bersatu dengan aroma keringat dan aroma lainnya. Semuanya saat itu belum teratur, tapi apa pedulinya, belum ada sepertinya pengaturan tempat duduk, pengamanan maksimal dari petugas keamanan dsb, sehingga saya pun dulu bisa bebas keluar masuk stasiun itu hanya untuk mengagumi sebuah jenis transportasi yang berukuran besar yaitu kereta api. Suasana tahun 90-an itu masih terekam dengan jelas, bagaimana sebuah sistem perkereta-apian saat itu masih berjalan dengan semrawut, jauh dari kata keteraturan. Lalu setelah sekian lama, saya mencoba lagi, berangkat dari titik awal Stasiun S...