Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan yang pertama, masih di judul Haruskah Pemimpin Dipilih Secara Langsung.
Bila pada tulisan sebelumnya menyinggung beberapa alasan mengapa kita harus mulai memikirkan alternatif lain selain pemilihan langsung untuk para pemimpin di tingkat lokal (daerah), maka pada tulisan kedua ini akan lebih menyoroti besarnya biaya untuk penyelenggaraan pemilu di tingkat daerah dan apakah dengan tingginya biaya tersebut akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas?
Politik Memerlukan Biaya
Kita ketahui bahwa politik itu memiliki cost atau biaya dan modal tertentu, Cost tersebut bisa berarti biaya (baca : uang) ataupun modal-modal lain yang berbentuk seperti elektabilitas (tingkat keterpilihan), popularitas (keterkenalan) dan kapabilitas (kemampuan dari si calon itu sendiri).
Dari semuanya modal tersebut, sepertinya berkaitan, untuk mendongrak elektabilitas dan popularitasnya, maka si calon haruslah mulai aktif untuk memperkenalkan dirinya ke masyarakat dengan berbagai cara, salah satunya melalui iklan di media massa, banner dan poster-poster yang tentunya memerlukan biaya yang sangat besar. Terkadang, dengan semakin mendesaknya kebutuhan akan keterkenalan tersebut, banyak para calon-calon yang menggunakan jasa para konsultan politik yang tentu saja memakan biaya yang tidak sedikit. Kemudian untuk proses konsolidasi partai pendukung dan pengusung tentunya akan lebih banyak memakan biaya lagi, belumlah untuk kampanye dan sebagainya.Semua biaya tersebut bisa murni berasal dari "kantung pribadi" si calon tersebut plus mungkin ditambah dari sokongan dana para pendukungnya. Maka tak heran bila kita membaca atau mendengar, diperlukan biaya Miliaran, puluhan atau ratusan miliar hanya untuk memuaskan syahwat untuk menjadi seorang pemimpin.
Selain dari dana pribadi itu, pemerintah daerah juga tentunya akan mengalokasikan dana untuk penyelenggaraan pilkada di daerah tersebut, seperti yang tercantum dalam Permendagri Nomor 54 Tahun 2019, bahwa Pelaksanaan Pilkada didukung oleh pemerintah daerah melalui dana hibah yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dana yang digelontorkan untuk biaya pilkada tersebut tidaklah kecil, dan itu terjadi hampir di seluruh wilayah Kabupaten dan Kota, bahkan Provinsi di seluruh Indonesia. Dana yang besar itu tentunya harus menjadi pertimbangan kita dimana tentunya akan lebih bermanfaat bila digunakan untuk hal-hal yang menyentuh persoalan dan hajat hidup orang banyak, seperti kesehatan, pendidikan, sarana infrastruktur dan lain sebagainya.
Biaya Sosial Tinggi.
Pilkada kemudian pilpres adalah sebuah kompetisi politik yang sah dan diakui oleh konstitusi kita, maka selayaknya sebagai sebuah kompetisi, tentu akan diramaikan dengan dukungan-dukungan dari suporter masing-masing calon.
Terkadang, dalam tahapan inilah suasana yang tercipta bukan suasana yang kondusif lagi. Persaingan yang meruncing kadang menimbulkan friksi diantara dua pihak atau lebih.
Masih terbayang dalam ingatan kita, Pilpres 2014 dan 2019 yang telah lalu melahirkan kosakata baru dalam konstelasi politik kita, yaitu "Cebong" dan "Kampret" , kemudian "kadrun" dan sebagainya. Pun demikian pula dengan pemilu 2024 kemarin yang baru saja kita laksanakan. Saling serang dan umpat, terutama di media sosial menjadi makanan kita sehari-hari, istilah kesatuan yang harusnya "Kita", berubah menjadi "aku dan mereka", sebuah kondisi yang menyerempet pada bahaya perpecahan dimana persatuan adalah kata kunci penting dalam masyarakat yang bersifat heterogen seperti Indonesia.
Oleh karena itu, perlu kiranya kita memikirkan kembali dengan mempertimbangkan faktor-faktor diatas, sebuah metode pemilihan yang efektif, dengan memperhatikan berbagai aspek tanpa mengabaikan hak demokrasi rakyat itu sendiri, tapi juga berdampak positif pada aspek-aspek sosial, ekonomi dan pembangunan Indonesia itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar