Saya kira, kita semua pernah mendengar nama ini, ketika disebut nama Bima, yang terbayang adalah sosoknya yang tinggi besar, bersuara menggelegar, keberaniannya yang tinggi dengan berbagai kesaktian yang dimilikinya. Dalam dunia perwayangan dan kisah sastra Mahabrata, dia adalah anak kedua setelah Yudistira, kemudian dia punya adik Arjuna dan si kembar Nakula Sadewa.
Bima digambarkan memiliki keahlian bertempur dengan senjata Ghada, konon katanya, orang yang dipukul oleh Ghada tersebut bisa remuk dan hancur lebur tulang dan semua sendinya, mengerikan bukan?
Tapi bukan itu yang akan dibahas dalam tulisan ini, saya lebih tertarik dengan karakter yang dimiliki oleh Bima itu sendiri. Dikisahkan, Bima adalah seseorang yang keras kepala, pemberani, berpenampilan dan berbicara kasar, tapi komitmen dengan janjinya dan apa yang dia lakukan, sesuai dengan apa yang dikatakannya.
Bima yang Urakan.
Bima tak suka berpura-pura, dia akan berkata A bila itu memang A, dan B jika itu B. Dia mengakui dan meminta maaf dihadapan para guru, sesepuh dan saudaranya kalau dia berbicara suka kasar, tapi itulah kekurangan sekaligus juga kekuatannya.
Kita sekarang hidup di masa yang segala sesuatu bisa disetting, baik itu penampilan, gaya bicara ataupun tingkah laku, kita menyebutnya dengan istilah pencitraan. Settingan itu banyak caranya, baik dengan kemampuan teknologi, poster dan banner-banner berukuran raksasa, iklan komersial politik maupun dengan gaya turun ke pasar-pasar dan tempat kerumunan orang banyak, sehingga menggambarkan bahwa dia memiliki kemampuan berbaur dan berbagi dengan masyarakat. Banyak para politikus menggunakan pencitraan ini untuk meningkatkan popularitasnya, sehingga bila beruntung, dalam kontestasi demokrasi, yaitu pemilu, mereka bisa naik tingkat elektabilitasnya dengan cara foto mereka ditusuk paku oleh rakyat sebagai pemilih.
Rakyat hanya dibutuhkan ketika Pemilu.
Salahkah? Tentu tidak. Politik memperbolehkan itu, politik adalah seni, seni meraih dan mempertahankan kekuasaan. Bagaimana caranya? Saya kira para politikus lebih mafhum caranya.Hanya yang perlu ditekankan, kita mungkin akan merindukan para politikus yang berkarakter seperti Bima, walaupun berperilaku urakan, penampilan mungkin tidak menarik, tapi dari segi kata-kata dan janjinya bisa dipegang oleh rakyat. Kita tentu tidak mau, hubungan antara elit politik dan pemilih (rakyat) hanya berlangsung dalam waktu 5 tahunan saja, kita ingin elit politik, pemimpin yang kita pilih itu selalu ada untuk kita. Adakah sosok seperti Bima itu? Saya tetap meyakini ada, tapi entah dimana dan kapan akan kita temuinya.
Komentar
Posting Komentar