Langsung ke konten utama

Postingan

Tabloid Bola Edisi Terakhir.

Saya hobi membaca, segala jenis bacaan bisa saya lalap, kebiasaan ini muncul dari semenjak usia pra-sekolah sampai sekarang. Asupan bacaan saya dulu adalah majalah Bobo, Ananda, Tom-tom, Si Kuncung dll. Beranjak remaja, tepatnya kelas 1 (Satu) SMP, tiba-tiba saya punya hobi baru, nonton sepakbola, penyebabnya adalah tayangan Piala Dunia 94 Amerika di televisi. Sebelumnya saya tidak begitu suka sepakbola, bagi saya waktu itu, sepakbola tak lebih dari sebuah olahraga yang membosankan, monoton dan minim gol, sehingga tak ada minat untuk menyukainya, ditambah jam tayang yang kadang malam atau dinihari. Awal ketertarikan di Piala Dunia 94 itu, karena saya menyukai timnas Belanda (sampai sekarang), sehingga setiap Belanda main, saya sempatkan bagaimanapun untuk menonton. Nah untuk menambah referensi, mulailah saya membeli Tabloid Bola, kalau tidak salah harganya masih Rp. 750 dan terbit hanya setiap hari Jum’at. Itupun harus penuh drama, perjuangan dan airmata, ya karena walauupun ha...

Jempol deh Untuk TVRI

Beberapa hari lalu saya bercakap-cakap dengan istri tentang kenangan acara-acara TVRI jaman dahulu kala, maklum saja, kami lahir di tahun 80-an sehingga soal acara   TVRI pasti sudah sangat fasih, apalagi Cuma TVRI lah stasiun televisi satu-satunya waktu itu. Maka jangan tanyakan tingkat kefasihan kami pada film Si Unyil yang legendaris itu. He he he. Salah satu topik yang diperbincangkan adalah, dulu TVRI itu benar-benar sangat mendidik, selain juga menghibur untuk ukuran waktu itu. Ternyata kita memiliki satu kesukaan yang sama, yaitu suka menonton acara yang intinya menggambarkan seorang detektif dimana dia memecahkan kasusnya dengan menggunakan rumus-rumus matematika. Kemudian saya menimpali, dulu juga di awal tahun 90-an ketika muncul TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) yang hanya siaran dari jam 6.00-12.00 WIB juga ada siaran khusus yang menayangkan tentang kegiatan materi pembelajaran dari tingkat SD-SMA, kalau tidak salah dimulai dari pukul 8.00 pagi sampai jam 9.00...

PSBB di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

Sudah 3 (tiga) pekan sejak pemerintah memutuskan agar masyarakat untuk diam di rumah dan mengerjakan segalanya dari rumah, sudah terlihat tanda-tanda kelesuan ekonomi. Mulai dari sepinya pusat-pusat perbelanjaan, kemudian dibatasinya jam kerja karyawan, lalu pembatasan atau bahkan pelarangan mudik, semuanya telah berimbas pada satu masalah, penurunan daya beli masyarakat. Kegiatan ekonomi yang seharusnya berjalan dinamis, sekarang seperti terhenti walaupun tidak secara total. Ditengah-tengah kelesuan ekonomi tersebut, seruan pemerintah untuk masyarakat agar tinggal dirumah, rupanya diabaikan begitu saja oleh sebagian masyarakat terutama oleh kalangan pekerja informal, seruan bahkan disertai dengan ancaman baik secara pidana atau dampak dari Covid -19 yang sangat menular, tak cukup membendung niat dan hasrat mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini tak bisa disalahkan, ketika pemerintah tidak bisa menyanggupi kebutuhan dasar masyarakat selama masa PSBB (Pembatas...

Ketika Kaum Hawa Berbelanja

Apa yang paling membosankan selain menunggu? jawabannya adalah tetap menunggu juga, khususnya menunggu sang istri berbelanja. Kalau belanja kebutuhan sehari-hari rasanya tidak begitu bermasalah, waktu terasa cepat berlalu, tinggal melihat dan berjalan sepanjang rak dan melihat-lihat apa yang menjadi kebutuhan rumah tangga, biasanya ritual belanja sudah selesai. Tapi cobalah anda temani istri anda belanja sepatu, baju, atau kerudung jilbabnya, rasanya waktu akan terasa lama dan lambat, persis seperti proses perdamaian antara Korea Utara dan Korea Selatan yang tidak tahu ujung pangkalnya. Saya sering memperhatikan dan menganalisa, kenapa kaum hawa  itu belanjanya lama, kesimpulannya ada beberapa hal ; 1. Wanita sering gelap mata dengan beragamnya model yang dipampang di display. Sehingga lihat item yang ini tertarik, berpindah ke rak yang lain, eh itu juga bagus ya, maka biasanya otomatis  keluarlah kata atau kalimat  "Ih, ini lucu ya"...bila kalimat ini sudah keluar...

Ngaliweut

 Sumber Foto : Detik Food Saya tidak tahu darimana atau asal dari nasi liweut (Ejaan Sunda). Yang jelas saya menikmatinya. Bukan sekedar   rasanya yang gurih, lebih dalam lagi tentang filosofi yang terkandung dalam proses pembuatan atau ketika memakannya. Kalau dilihat dari pengertian nasi liweut itu sendiri suatu teknik memasak nasi dengan cara mencampur beras dan air, bisa air putih atau santan dalam suatu tempat khusus, bisa berupa kastrol, atau dandang untuk memasak nasi hingga matang. Nah yang unik dari nasi liweut itu sendiri adalah cara penyajiannya, biasanya nanti nasi dan lauknya dinikmati secara bersama dengan cara dihamparkan pada suatu alas ( biasanya daun pisang) dan dinikmati bersama-sama   secara lesehan. Disinilah letak filosofisnya, pembuatannya memerlukan suatu kerja kolektif, ada yang mendapat bagian mengolah   bumbu, memasak dan menjaga kestabilan api-nya, bahkan ada yang bertugas untuk mencari daun pisang sebagai alas. Hal ini semua...

Pil...Pil...Pil...

Semenjak era pemilihan pemimpin dilaksanakan secara langsung, entah sudah berapa kali saya mengikuti ritual pemilihan tersebut yang biasanya dilaksanakan dalam interval waktu 5 (lima) tahunan itu. Coba kita inventarisir, ketentuan pemilihan pemimpin secara langsung itu mulai tahun 2004, SBY waktu itu jadi Presiden Indonesia yang dipilih langsung oleh rakyat, setelah itu pemilihan gubernur, bupati hingga kepala desa mengikutinya, bahkan mungkin jarak waktunya berdekatan sekali. Maka sejak itu kita mulai mengenal istilah Pilpres, Pilgub, Pilbup sampai ke   Pilkades. Tidak ada yang salah sebenarnya, karena konstitusi mengatur demikian, disatu sisi ini merupakan penghargaan kepada rakyat, bahwa suaranya dihargai, hal ini juga bukankah sebuah tuntutan dulu di masa reformasi bahwa   pemimpin itu lebih baik dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai wujud kedaulatan rakyat? Tapi hal ini menimbulkan kejenuhan tersendiri, bahkan kalau tidak bijak menyikapinya bisa saja me...

Kopi

Saya bukanlah seorang penggemar kopi, meminumnya pun masih bisa dihitung dengan jari. Jangan tanyakan atau suruh saya membedakan   jenis kopi Robusta atau Arabika, itu sama sulitnya dengan saya harus menjawab soal-soal Fisika, Matematika atau membaca tabel unsur kimia. Yang saya tahu adalah kopi sachet yang bergantungan di warung-warung, itu pun terbatas hanya rasa kopi susu atau kopi hitam. Maka itu, saya sering tidak bisa memahami, orang bisa berlama-lama menikmati segelas kopi atau bahkan berfilosofi tentang kehidupan dengan menggunakan kopi sebagai pengibaratan.Tapi tentu itu sah-sah saja, setiap orang tentu punya seleranya masing-masing, tak elok rasanya mempermasalahkan selera, karena tiap orang punya alasannya sendiri. Tapi saya sama sekali tidak anti kopi, sesekali masih menikmatinya, terutama bila ada tugas-tugas yang mengharuskan diselesaikan hingga malam hari. Mungkin karena jarang minum kopi, setiap satu gelas kopi yang saya reguk, benar-bena...

Hari Guru

25 November kemarin diperingati sebagai Hari Guru. Seluruh puja dan puji disematkan kepada sosok sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini. Selayaknya sebagai rasa penghormatan, tak salah bila saya secara pribadi mengucapkan Selamat Hari Guru untuk seluruh bapak dan ibu guru yang pernah mendidik saya, baik secara pengajaran umum di kelas, tentang agama ataupun guru yang mengajarkan tentang kehidupan. Selama menjalani pendidikan formal, ada 2 (dua) sosok yang akan saya kenang terus selamanya. Metode belajar dan pendekatan mereka selama mengajar, benar-benar berbekas dan mengesankan. Keduanya adalah guru semasa di Sekolah Dasar, hal ini bukan berarti di jenjang-jenjang lainnya para guru yang telah mengajar saya tidak memberikan kesan yang mendalam, akan tetapi 2 (dua) sosok inilah yang memang luar biasa. Yang pertama adalah Ibu Eti namanya, beliau mengajar di kelas 3 SD. Sebelum diajar beliau, nilai rapor dan prestasi saya rasanya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa, banyak f...

Memulai Kembali

Mencoba untuk menulis lagi, sebuah gairah yang tiba-tiba muncul kembali. Tak bisa ditahan, karena memang sudah panggilan hati. Kemalasan menjadi penyakit, malas untuk menulis, malas untuk menumpahkan semua pikiran yang ada dalam pikiran, padahal ide begitu melimpah, terlalu sayang rasanya bila semuanya itu lewat begitu saja tanpa diarsipkan dalam lembaran-lembaran dunia digital. Sekarang mencoba bangkit lagi, disertai niat dan kemauan kuat, bahwa teruslah menulis, menulis untuk sebuah kehidupan.