25 November kemarin diperingati sebagai Hari Guru. Seluruh puja dan puji disematkan kepada sosok sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini. Selayaknya sebagai rasa penghormatan, tak salah bila saya secara pribadi mengucapkan Selamat Hari Guru untuk seluruh bapak dan ibu guru yang pernah mendidik saya, baik secara pengajaran umum di kelas, tentang agama ataupun guru yang mengajarkan tentang kehidupan.
Selama menjalani pendidikan formal, ada 2 (dua) sosok yang akan saya kenang terus selamanya. Metode belajar dan pendekatan mereka selama mengajar, benar-benar berbekas dan mengesankan. Keduanya adalah guru semasa di Sekolah Dasar, hal ini bukan berarti di jenjang-jenjang lainnya para guru yang telah mengajar saya tidak memberikan kesan yang mendalam, akan tetapi 2 (dua) sosok inilah yang memang luar biasa.
Yang pertama adalah Ibu Eti namanya, beliau mengajar di kelas 3 SD. Sebelum diajar beliau, nilai rapor dan prestasi saya rasanya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa, banyak faktor yang menyebabkan prestasi waktu itu terasa datar, salah satunya karena kepergian Bapak, secara tidak langsung, itu membuat saya terpukul, walau mungkin di usia itu saya tidak begitu memahami arti kata kehilangan, tapi jelas rasa terpuruk itu ada. Rasa minder, atau tidak percaya diri karena kehilangan sosok ayah itu jelas tidak dapat disingkirkan,
Bu Eti dengan cara mengajarnya yang keibuan, penuh dengan perhatian tapi tegas, telah memberi semangat lagi, Bu Eti-lah yang telah menemukan minat dan kecintaan saya pada ilmu-ilmu sosial. Dia mendorong muridnya untuk mau membaca, sehingga hal itu membuat saya yang pada dasarnya sudah suka membaca, menjadi lebih "gila" dan "rakus" lagi melahap buku-buku perpustakaan sekolah yang waktu itu didominasi terbitan Balai Pustaka, rasanya hampir semua buku di rak perpustakaan sudah saya baca. Ini berimbas pada prestasi dan nilai di raport, semuanya bagus, bahkan beberapa Catur Wulan saya menduduki Rangking Pertama. Semangat belajar ini terus terjaga, hingga ketika kelas 5, Bu Eti kembali menjadi guru kelas saya kembali.
Sosok yang kedua adalah Pak Yedi namanya, beliau guru ketika kelas 6. Perawakannya kecil, tetapi agak gemuk. Dia gemar bercerita, kalau sudah mendongeng, kita dibuat terkesima karenanya. Orangnya aktif dalam kegiatan Pramuka ataupun latihan baris-berbaris. Bisa dipastikan, semua siswa yang pernah menjadi petugas upacara, harus melewati dulu polesan tangan dingin beliau dalam melatih kedisiplinan.
Dari beliau, saya diajarkan tentang pentingnya percaya diri dan agar tidak gugup dalam menghadapi suatu pertandingan, dengan beliaulah saya dilatih, dibina sampai didampingi dalam event-event lomba bidang studi ilmu sosial sampai bisa masuk dalam acara Cerdas Cermat di TVRI, sebuah lomba yang cukup prestisius di jamannya serta disiarkan oleh stasiun televisi satu-satunya di Indonesia.
Dia selalu mengajarkan, kalau kamu bertanding, cuek saja, anggap penonton tak ada, tenang dan rileks, sebuah petuah yang dirasakan manfaatnya hingga sekarang, sehingga rasa gugup dan grogi bila berhadapan dan bicara di depan orang banyak bisa dikikis.
Dua sosok diatas saya kira adalah sosok yang ideal, mereka mencontohkan tentang guru itu bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik. Kabar terakhir yang saya dapat, Bu Eti masih hidup, beliau dalam kondisi yang masih sehat. Sedangkan Pak Yedi, kabarnya sudah meninggal, semoga allah melimpahkan pahala dari amal-amal yang pernah dilakukannya, yaitu mendidik dan mengajar kami semua. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar