Langsung ke konten utama

Pil...Pil...Pil...


Semenjak era pemilihan pemimpin dilaksanakan secara langsung, entah sudah berapa kali saya mengikuti ritual pemilihan tersebut yang biasanya dilaksanakan dalam interval waktu 5 (lima) tahunan itu.

Coba kita inventarisir, ketentuan pemilihan pemimpin secara langsung itu mulai tahun 2004, SBY waktu itu jadi Presiden Indonesia yang dipilih langsung oleh rakyat, setelah itu pemilihan gubernur, bupati hingga kepala desa mengikutinya, bahkan mungkin jarak waktunya berdekatan sekali. Maka sejak itu kita mulai mengenal istilah Pilpres, Pilgub, Pilbup sampai ke  Pilkades.

Tidak ada yang salah sebenarnya, karena konstitusi mengatur demikian, disatu sisi ini merupakan penghargaan kepada rakyat, bahwa suaranya dihargai, hal ini juga bukankah sebuah tuntutan dulu di masa reformasi bahwa  pemimpin itu lebih baik dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai wujud kedaulatan rakyat?

Tapi hal ini menimbulkan kejenuhan tersendiri, bahkan kalau tidak bijak menyikapinya bisa saja membawa pada polarisasi masyarakat. Ingat Pilpres 2014 dan 2019 kemarin, masyarakat terpecah menjadi dua kutub, bahkan tercipta kosa-kata baru yaitu Cebong dan Kampret dalam perpolitikan nasional kita. Cebong merujuk pada barisan pendukung Jokowi, sedangkan Kampret adalah sebutan identitas untuk para pendukung Prabowo. Tak hanya itu, polarisasi tersebut juga merembet pada hal yang lebih sensitif, yaitu agama. Sebuah kondisi yang benar-benar membuat tidak nyaman. Hilang sudah kekhasan rakyat Indonesia yang terkenal dengan keramah-tamahannya, terutama di media sosial, sumpah-serapah dan caci-maki menjadi biasa di dua kubu tersebut.

Model-model pemilihan secara langsung juga mengharuskan para calon yang berkompetisi wajib memperkenalkan dirinya kepada para pemilih, salah satunya adalah melalui poster, banner atau baligo. Maka tak heran, jelang pemilihan, alat-alat peraga tersebut memenuhi semua ruang, wajah-wajah baru yang asing bagi kita atau bahkan tak pernah kita lihat, akhirnya terpampang di depan kita, bahkan dengan pose atau gaya yang hampir sama, yaitu senyum lebar dan gaya tangan yang menghaturkan salam, seperti hendak menyampaikan pesan bahwa saya ramah dan saya siap melayani anda.

Penempatan alat peraga tersebut akhirnya hanya menjadi sampah visual, pandangan mata kita tak lagi menjadi bebas, bila sebelumnya mata ini “dipaksa” melihat billboard-billboard komersial, sekarang dipaksa lagi harus melihat gambar-gambar orang yang tersenyum tak jelas.
Tapi itulah mungkin sebuah proses politik, kita harus terus bergelut dan menjalani itu semua, sebelum menemukan kembali suatu sistem yang ajeg, wacana pemilihan oleh parlemen juga kembali bergaung, salah satunya karena alasan biaya.

Ternyata memilih pemimpin itu tidak murah, …

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Catatan Sepakbola (Bagian 1) Melawan Jepang, Kita Realistis Saja.

Tulisan ini dibuat beberapa hari setelah pertandingan Timnas Indonesia melawan Timnas Jepang dalam rangka kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Seperti yang kita ketahui, hasilnya adalah kita kalah dengan telak 4-0, menyesakkan memang, apalagi kita kalah di kandang sendiri yang dianggap "sakral" oleh pecinta sepak bola tanah air, yaitu Gelora Bung Karno. Kecewa? Pasti, itu adalah hasil yang negatif, tapi rasanya kekecewaan itu juga bisa berubah menjadi kebanggaan, yaitu masihlah mending kita kalah 4-0, lihatlah Timnas China, mereka malah lebih parah dipermak dengan skor 7-0, kalau begitu masih untunglah kita ya?... Timnas Jepang Unggul Segalanya Soal Timnas Jepang, tak usahlah lagi kita ragukan lagi kualitasnya, level mereka jauh diatas kita, mau dilihat dari apapun, rangking FIFA? mereka jauh diatas kita, Trofi Piala Asia? mereka langganan juara, atau mau kita banding-bandingan pengalaman di Piala Dunia? Mereka sejak 1998 rutin bermain di even 4 tahunan itu,bagaiman...