Sudah 3 (tiga) pekan sejak
pemerintah memutuskan agar masyarakat untuk diam di rumah dan mengerjakan
segalanya dari rumah, sudah terlihat tanda-tanda kelesuan ekonomi. Mulai dari
sepinya pusat-pusat perbelanjaan, kemudian dibatasinya jam kerja karyawan, lalu
pembatasan atau bahkan pelarangan mudik, semuanya telah berimbas pada satu
masalah, penurunan daya beli masyarakat.
Kegiatan ekonomi yang seharusnya
berjalan dinamis, sekarang seperti terhenti walaupun tidak secara total. Ditengah-tengah
kelesuan ekonomi tersebut, seruan pemerintah untuk masyarakat agar tinggal
dirumah, rupanya diabaikan begitu saja oleh sebagian masyarakat terutama oleh
kalangan pekerja informal, seruan bahkan disertai dengan ancaman baik secara
pidana atau dampak dari Covid -19 yang sangat menular, tak cukup membendung
niat dan hasrat mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Hal ini tak bisa disalahkan,
ketika pemerintah tidak bisa menyanggupi kebutuhan dasar masyarakat selama masa
PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), maka masyarakat mencari jalan keluanya
sendiri, yaitu menjemput rezeki tersebut apapun resikonya. Bagi mereka yang
berpenghasilan minim tersebut, lebih baik mati mencari nafkah daripada diam
tapi kelaparan.
Dilematis memang, tapi kita tentu
juga harus memaklumi kemampuan pemerintah dalam menangani dampak ekonomi yang
ditimbulkan virus tersebut, stimulus yang diberikan kepada rakyat berupa dana
Rp.600.000 per-bulan, diharapkan cukup membantu kesulitan-kesulitan masyarakat
untuk tiga bulan kedepan, tentu dengan syarat pendataan yang tepat dan
penerima tepat sasaran.
Kita tentu hanya mimpi bila
membandingkan besarnya bantuan dengan pemerintah negara lain yang diberikan
kepada rakyatnya, tapi nilai Rp. 600.000 rupiah tersebut saya kira cukup untuk
mengganjal kebutuhan hidup masyarakat, dalam hal ini saya tidak berani mengatakan
uang itu mencukupi kebutuhan rumah tangga masyarakat berpenghasilan informal,
makanya saya katakan mengganjal, karena percayalah, sebagian kebutuhan itu akan
terpenuhi dengan semangat hidup yang masyarakat kita miliki. Bukankah kita tahu
negeri +62 ini selalu memiliki cara untuk bertahan hidup? Dengan prinsip Santuy
salah satunya.
Komentar
Posting Komentar