Sumber Foto : Detik Food
Saya tidak tahu darimana atau
asal dari nasi liweut (Ejaan Sunda). Yang jelas saya menikmatinya. Bukan sekedar
rasanya yang gurih, lebih dalam lagi
tentang filosofi yang terkandung dalam proses pembuatan atau ketika memakannya.
Kalau dilihat dari pengertian
nasi liweut itu sendiri suatu teknik memasak nasi dengan cara mencampur beras
dan air, bisa air putih atau santan dalam suatu tempat khusus, bisa berupa
kastrol, atau dandang untuk memasak nasi hingga matang. Nah yang unik dari nasi
liweut itu sendiri adalah cara penyajiannya, biasanya nanti nasi dan lauknya
dinikmati secara bersama dengan cara dihamparkan pada suatu alas ( biasanya
daun pisang) dan dinikmati bersama-sama secara lesehan.
Disinilah letak filosofisnya,
pembuatannya memerlukan suatu kerja kolektif, ada yang mendapat bagian
mengolah bumbu, memasak dan menjaga
kestabilan api-nya, bahkan ada yang bertugas untuk mencari daun pisang sebagai
alas. Hal ini semua memperlihatkan bahwa diperlukan sebuah team work yang kuat
dalam mencapai suatu tujuan, semua biasanya sudah disesuaikan sesuai dengan
spesialisasi masing-masing.
Filosofi yang kedua adalah ketika
mengkonsumsinya. Gaya lesehan serta “ngariung” dalam posisi yang sama,
menggambarkan sebuah kesetaraan. Tidak ada posisi yang spesial, semuanya
menikmati dalam sebuah kebersamaan, saling berbagi nasi yang sama juga lauk
yang sama, sehingga tidak ada jarak dalam kondisi seperti itu.
Suasana itu yang membuat nasi
liweut berbeda, walaupun mungkin lauknya tidak seberapa, tapi ada nilai lain
yang lebih penting dari sekedar rasa. Sehingga tidak aneh, nasi liweut selalu
ada dalam momen-momen kumpul bareng, seperti ronda malam atau silaturahmi
keluarga. Semua sekat-sekat formal yang ada seperti hilang tanpa bekas, apalagi
bila ketika bersantap disertai dengan obrolan-obrolan ringan.
Saya sering membayangkan, bila
liweut dijadikan sebagai salah satu alat diplomasi kita, bila selama ini
lobi-lobi politik sering dilakukan di hotel-hotel mewah, mungkin suatu saat
nanti, para politikus itu lesehan bersama di depan alas pisang. Atau liweut
juga bisa dijadikan sarana komunikasi para pemimpin dalam menyerap aspirasi
rakyatnya, biasanya dalam suasana informal seperti itu, ide-ide brilian ataupun
solusi dari suatu permasalahan bisa ditemukan.
Tapi bagi saya pribadi, pesona
liweut ada di bagian keraknya..itulah “ permata yang hilang “ dari nasi liweut.
Rasa garing dan kriuknya itu tidak akan pernah terlupakan…Hidup Nasi Liweut !!!…Nyam.Nyam.Nyam.

Komentar
Posting Komentar