Langsung ke konten utama

Tumbler dan Hidup Frugal

Beberapa hari ini saya tertarik kembali untuk membuka-buka situs yang membahas hidup Frugal, sebuah kebiasaan yang sebenarnya sudah lama saya lakukan. Tidak tau kenapa, tapi rasanya suka saja, seakan mengajak kita untuk berbenah kembali, mengatur pemasukan dan pengeluaran kita dengan memperhatikan atau membuat garis pembatas yang jelas, antara mana yang merupakan kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan semata.

Apalagi dalam kondisi ekonomi negara kita yang seperti hidup segan matipun tidak mau, ditandai dengan kelesuan masyarakat terutama dalam sekor konsumsi, membuat kita harus benar-benar bijak menggunakan uang kita. Jangan sampai kita defisit atau lebih besar pasak daripada tiang.

Apa sih hidup frugal ? saya mengutip dari google katanya seperti ini  "Frugal living adalah gaya hidup hemat yang berfokus pada pengelolaan keuangan bijak dengan memprioritaskan kebutuhan, bukan pelit, melainkan cermat dalam pengeluaran". Dengan demikian, ada sebuah tantangan untuk mulai melakukan "pemilahan" akan hal-hal yang sebetulnya bisa kita hemat.

Saya memulai dari hal yang sederhana, yaitu membawa botol minum atau tumbler, sudah beberapa bulan ini saya rutin membawanya ke tempat kerja, selain karena adanya anjuran Program Adiwiyata (sebuah program yang memfokuskan pada lingkungan hidup dan meminimalisir atau mendayaguna kembali sampah), hal ini juga dilakukan karena adanya sebuah kesadaran bahwa ternyata membawa tumbler memang membawa keuntungan dalam beberapa hal, diantaranya adalah ;

Pertama, Tumbler mengurangi pengeluaran membeli air minum dalam kemasan (AMDK).Dulu, biasanya saya membeli AMDK kapan saja bila saya mau, masih mending bila yang dibeli hanya air mineral saja, akan tetapi kadang bila datang godaan dahaga yang sangat, maka pilihan menjadi minuman soda, minuman rasa teh dengan kadar gula yang tinggi, yang tentu saja akan berakibat buruk dalam rentang waktu yang panjang. Selain itu, hal ini merupakan pengeluaran yang tidak terduga, dimana bila kita akumulasikan, nilainya juga cukup fantastis dan mengambil beberapa persen dari penghasilan kita. Anggap saja 1 botol AMDK itu Rp.5.000 (Lima Ribu Rupiah), silakan kalikan secara rata 30 hari dalam sebulan, sebuah nilai nominal yang lumayan bisa kita sisihkan untuk membeli kebutuhan yang lain dan lebih urgen. Tentu saja ini sesuai dengan tujuan hidup Frugal yang kita bahas diatas.

Kedua, dengan membawa Tumbler, kita mengurangi sampah plastik. Tentu kita sudah pernah membaca bahwa plastik menjadi sebuah ancaman tersendiri dalam kehidupan kita, dengan membawa tumbler, maka kita berperan mengurangi polusi plastik itu sendiri, memang sebuah kesadaran akan lingkungan ini terasa sangat berat bila kita lakukan sendiri, tapi tentunya akan berdampak besar bila dilakukan secara bersama dan komunal.

Ternyata sebuah benda yang mungkin kita anggap biasa saja, bila kita lakukan secara konsisten, bisa membawa dampak besar baik secara ekonomi individu, maupun lingkungan. Karena itu, kiranya kita tidak usah ragu untuk memulai hal-hal kecil tersebut. 

                                                                      Tumbler Harian


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Stasiun Sukabumi

Rasanya seperti baru kemarin, saya bisa leluasa masuk ke Stasiun Sukabumi, melihat keriuhan para penumpang kereta yang hendak berangkat ke Cianjur dan Bogor.  Berbekal karcis seperti kartu gapleh yang nantinya akan dibolongi oleh kondektur, para penumpang yang kebanyakan para pedagang itu berjejalan dalam suasana hiruk-pikuk di dalam gerbong. Ditingkahi dengan suara pedagang asongan dan para pengamen, semuanya bersatu dengan aroma keringat dan aroma lainnya. Semuanya saat itu belum teratur, tapi apa pedulinya, belum ada sepertinya pengaturan tempat duduk, pengamanan maksimal dari petugas keamanan dsb, sehingga saya pun dulu bisa bebas keluar masuk stasiun itu hanya untuk mengagumi sebuah jenis transportasi yang berukuran besar yaitu kereta api. Suasana tahun 90-an itu masih terekam dengan jelas, bagaimana sebuah sistem perkereta-apian saat itu masih berjalan dengan semrawut, jauh dari kata keteraturan. Lalu setelah sekian lama, saya mencoba lagi, berangkat dari titik awal Stasiun S...