Soal membaca, saya mungkin sudah sampai pada tahap kecanduan, rasanya ada yang kurang apabila 1 (satu) hari terlewatkan tanpa membaca buku, koran atau majalah yang relevan dengan minat dan hobi saya.
Semasa sekolah dasar, bacaan itu berupa majalah Bobo, Ananda, Tomtom ataupun majalah cetakan pemerintah saat itu yaitu Si Kuncung. Nama-nama itu setia menemani perjalanan literasi saya, sadar atau tidak, keberadaannya pun mempengaruhi cara berpikir dan bertindak saat itu. Dari Bobo, belajar rasional dan ilmu pengetahuan, sedangkan dari Kuncung, saya mengenal Indonesia lebih jauh, karena memang kandungan konten si Kuncung itu relatif lebih banyak bercerita tentang Nusantara.
Beranjak remaja, Tabloid Bola, GO menjadi referensi, ketertarikan pada dunia sepakbola, mengakibatkan hubungan saya menjadi intens dengan mereka. Selain itu, sajian dari koran KOMPAS juga sudah cukup menggoda, KOMPAS memberikan sebuah sudut dan persfektif lain tentang dunia, baik itu politik dalam dan luar negeri (sesuatu yang nantinya akan menjadi minat saya), sejarah dan juga Teknologi. KOMPAS juga memberi pengaruh dahsyat pada penguasaan bahasa, sering terjadi saya mengetahui kosa kata baru dari harian ini.
Akan tetapi, "kegilaan" pada membaca ini terkadang terhalang oleh sesuatu yang klasik, yaitu dana. Ya, membaca semua itu memerlukan biaya, tidak murah memang, bahkan harus bersiasat dengan menyisakan uang saku dan memilah-milahnya dengan hasrat dan keinginan untuk jajan. Ada memang cara lain untuk memuaskan dahaga membaca tersebut, bisa dengan berkunjung ke Perpustakaan, atau pun meminjam dan mencari di Internet, walau terkadang nilai "kekinian" nya sudah berkurang.
Kini, media sudah berubah, walaupun masih ada, tapi jumlah media dalam bentuk cetakan koran sudah berkurang, semuanya berubah ke digital, kita tidak perlu lagi membeli secara fisik kertas, akan tetapi sekarang dalam bentuk PDF dan tersedia dalam gawai yang bisa kita akses sehari-hari, dimanapun dan kapanpun.
Sehingga, ketika kemarin harian KOMPAS berulangtahun yang ke-60, kemudian mengeluarkan edisi khusus dengan harga kurang lebih 149 ribu rupiah dan kita mendapatkan akses berlangganan E-Paper selama setahun, dan juga Mingguan TEMPO melakukan hal yang sama juga dengan harga serupa, dengan bonus bisa mengakses bahkan arsip mereka dari tahun 1971, maka saya menjadi kalap, saya mendaftar keduanya. Entah kenapa, seakan dahaga itu terpuaskan, dendam karena keterbatasan dana pada saat dulu seakan terbalaskan.
Maka saat ini, sudah beberapa hari saya asyik memandangi gawai saya, membaca arsip-arsip Tempo dari tahun-tahun lampau, sambil terkadang merenung, bahwa kadang kita hanya butuh waktu dan kesabaran, tidak setiap apa yang kita inginkan dulu langsung menjadi kenyataan, mungkin saja perlu menunggu sekian lama, agar semakin indah dirasa setelah menjadi kenyataan.
Komentar
Posting Komentar