Efek kemenangan tersebut terasa sangat membekas, walau kemudian di babak final, kita mengalami antiklimaks, kita dikalahkan oleh lawan yang sama di mana awal kita memulai, yaitu Malaysia juga.
Hanya Pesimis dan Pesimis
Setelah ajang itu, semua pudar, kita seakan ditampar dan disadardirikan bahwa posisi Timnas kita ya masih dibawah negara-negara tetangga kita, selanjutnya kita tahu bahwa kita menjadi spesialis Runner-up di ajang yang sama, Thailand, Malaysia, Vietnam masih superior diatas timnas kita, bahkan celakanya, negara "antah-berantah" seperti Laos dan Kamboja, pelan-pelan seperti bangkit ingin menerkam, entahlah apa kita yang masih berjalan di tempat atau negara-negara lain yang berjalan atau bahkan berlari lebih cepat dibandingkan kita?. Sepakbola kita dirundung kabut pesimisme.
Kaki Kita Kurang Panjang.
Saking pesimisnya, kita bahkan "mengutuk" diri sendiri, bahkan dalam diskusi-diskusi ringan, sering muncul anekdot, mana mungkin kita bisa bersaing di pentas Asia apalagi Dunia, kaki pemain kita saja kalah panjang dengan negara-negara lain, maka larinya pun akan kalah. Adalagi yang bilang, mau sehebat Jose Mourinho sebagai pelatih pun, tetap saja kita masih akan kalah bersaing, kita tidak punya mental juara, entahlah, mungkin mental minder pada bangsa lain akibat kita dijajah oleh Belanda sudah mengkungkung alam bawah sadar kita.
STY Datang
Lalu perlahan kabut itu berangsur pudar, kedatangan seorang pelatih dari Korea Selatan mulai membuat kita menyadari bahwa sepakbola kita tak seburuk yang kita duga, memang tidak kita pungkiri, kebangkitan sepakbola di masa STY salah satunya karena faktor pemain Naturalisasi kita, tapi STY telah membawa sebuah angin segar, yaitu optimisme. Sikap rendah diri kita yang bahkan melawan sekelas Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam, perlahan terkikis, kita tidak takut lagi menghadapi mereka, bahkan mereka mungkin yang akan gentar menghadapi kita, bukti terkini adalah kehadiran kita di babak ke-3 kualifikasi Piala Dunia mulai membuka mata mereka, kita satu-satunya negara di Kawasan ASEAN yang tahun ini mampu melaju sejauh ini.
Kita mungkin juga tidak akan pernah bermimpi bahwa se-PD ini melawan raksasa-raksasa sepakbola Asia, Australia, Arab Saudi, Bahrain, kita hadapi dengan gagah berani, kita bisa mengambil poin dari mereka walaupun tetap harus mengakui keunggulan dari Jepang dan Cina, tapi setidaknya, di mental pemain kita tidak ada lagi rasa gentar menghadapi itu semua, kita pun sebagai penonton rasanya juga tidak takut dan kuatir kalah bila menghadapi kekuatan Asia itu, bahkan terselip sebuah harap di benak para suporter kita , bahwa timnas bisa membuat kejutan bahkan mencuri poin dari mereka, sebuah perasaan yang sebelumnya tidak pernah kita rasakan.
Tetap Realistis.
Tapi memang, selayaknya sebagai sebuah proses, apapun nanti hasilnya, kita lolos atau tidak ke Piala Dunia, bagi saya tidak penting. Iya pastinya saya dan seluruh pecinta sepakbola akan berharap kita bisa tampil disana, tapi bila tidakpun tetap kita harus syukuri. Karena apa ? Ya karena kita harus tetap berpijak di bumi, kita harus sadar posisi kita dimana, saat ini kita berada pada fase "kejutan" bahkan saya katakan instan, pondasi kita belum kokoh, saya juga belum berani membayangkan, bagaimana bila nanti STY pergi, atau program Naturalisasi pemain dihentikan, apakah kita akan tetap sehebat ini? Bolehlah bahwa ungkapan saya ini mengandung pesimisme, tapi saya dan pembaca juga tahu bahwa sering kita merasa kecewa lebih karena berharap pada manusia, oleh karena itu agar tidak kecewa, maka berhentilah berharap dan sadar ada dimana kita berpijak. Salam.
***Tulisan di senja hari berselimut dinginnya hujan.
Komentar
Posting Komentar