Langsung ke konten utama

Catatan Sepakbola (Bagian 2) : Nilai Lebih STY



Sebelumnya saya mengajak anda untuk mengingat kembali, kapan terakhir kalinya kita antusias dan merasa penuh percaya diri ketika melihat penampilan Timnas Indonesia, kalau saya pribadi, saya akan menjawab Piala AFF 2010 yang waktu itu diselenggarakan di kandang kita sendiri. Saat itu, sepakbola kita bergairah, Timnas kita tampil menggila dibawah kepelatihan Alfred Riedl, dengan bermaterikan pemain seperti Markus Horison sebagai kiper, Firman Utina di lapangan tengah dan penampilan ciamik pemain naturalisasi kita, Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales. Penampilan perdana kita dengan membabat habis 5-1 tetangga yang kadang adem-ayem, kadang juga panas, yaitu Malaysia.
Efek kemenangan tersebut terasa sangat membekas, walau kemudian di babak final, kita mengalami antiklimaks, kita dikalahkan oleh lawan yang sama di mana awal kita memulai, yaitu Malaysia juga.

Hanya Pesimis dan Pesimis
Setelah ajang itu, semua pudar, kita seakan ditampar dan disadardirikan bahwa posisi Timnas kita ya masih dibawah negara-negara tetangga kita, selanjutnya kita tahu bahwa kita menjadi spesialis Runner-up di ajang yang sama, Thailand, Malaysia, Vietnam masih superior diatas timnas kita, bahkan celakanya, negara "antah-berantah" seperti Laos dan Kamboja, pelan-pelan seperti bangkit ingin menerkam, entahlah apa kita yang masih berjalan di tempat atau negara-negara lain yang berjalan atau bahkan berlari lebih cepat dibandingkan kita?. Sepakbola kita dirundung kabut pesimisme.

Kaki Kita Kurang Panjang.
Saking pesimisnya, kita bahkan "mengutuk" diri sendiri, bahkan dalam diskusi-diskusi ringan, sering muncul anekdot, mana mungkin kita bisa bersaing di pentas Asia apalagi Dunia, kaki pemain kita saja kalah panjang dengan negara-negara lain, maka larinya pun akan kalah. Adalagi yang bilang, mau sehebat Jose Mourinho sebagai pelatih pun, tetap saja kita masih akan kalah bersaing, kita tidak punya mental juara, entahlah, mungkin mental minder pada bangsa lain akibat kita dijajah oleh Belanda sudah mengkungkung alam bawah sadar kita.

STY Datang
Lalu perlahan kabut itu berangsur pudar, kedatangan seorang pelatih dari Korea Selatan mulai membuat kita menyadari bahwa sepakbola kita tak seburuk yang kita duga, memang tidak kita pungkiri, kebangkitan sepakbola di masa STY salah satunya karena faktor pemain Naturalisasi kita, tapi STY telah membawa sebuah angin segar, yaitu optimisme. Sikap rendah diri kita yang bahkan melawan sekelas Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam, perlahan terkikis, kita tidak takut lagi menghadapi mereka, bahkan mereka mungkin yang akan gentar menghadapi kita, bukti terkini adalah kehadiran kita di babak ke-3 kualifikasi Piala Dunia mulai membuka mata mereka, kita satu-satunya negara di Kawasan ASEAN yang tahun ini mampu melaju sejauh ini.
Kita mungkin juga tidak akan pernah bermimpi bahwa se-PD ini melawan raksasa-raksasa sepakbola Asia, Australia, Arab Saudi, Bahrain, kita hadapi dengan gagah berani, kita bisa mengambil poin dari mereka walaupun tetap harus mengakui keunggulan dari Jepang dan Cina, tapi setidaknya, di mental pemain kita tidak ada lagi rasa gentar menghadapi itu semua, kita pun sebagai penonton rasanya juga tidak takut dan kuatir kalah bila menghadapi kekuatan Asia itu, bahkan terselip sebuah harap di benak para suporter kita , bahwa timnas bisa membuat kejutan bahkan mencuri poin dari mereka, sebuah perasaan yang sebelumnya tidak pernah kita rasakan.

Tetap Realistis.
Tapi memang, selayaknya sebagai sebuah proses, apapun nanti hasilnya, kita lolos atau tidak ke Piala Dunia, bagi saya tidak penting. Iya pastinya saya dan seluruh pecinta sepakbola akan berharap kita bisa tampil disana, tapi bila tidakpun tetap kita harus syukuri. Karena apa ? Ya karena kita harus tetap berpijak di bumi, kita harus sadar posisi kita dimana, saat ini kita berada pada fase "kejutan" bahkan saya katakan instan, pondasi kita belum kokoh, saya juga belum berani membayangkan, bagaimana bila nanti STY pergi, atau program Naturalisasi pemain dihentikan, apakah kita akan tetap sehebat ini? Bolehlah bahwa ungkapan saya ini mengandung pesimisme, tapi saya dan pembaca juga tahu bahwa sering kita merasa kecewa lebih karena berharap pada manusia, oleh karena itu agar tidak kecewa, maka berhentilah berharap dan sadar ada dimana kita berpijak. Salam.

***Tulisan di senja hari berselimut dinginnya hujan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Catatan Sepakbola (Bagian 1) Melawan Jepang, Kita Realistis Saja.

Tulisan ini dibuat beberapa hari setelah pertandingan Timnas Indonesia melawan Timnas Jepang dalam rangka kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Seperti yang kita ketahui, hasilnya adalah kita kalah dengan telak 4-0, menyesakkan memang, apalagi kita kalah di kandang sendiri yang dianggap "sakral" oleh pecinta sepak bola tanah air, yaitu Gelora Bung Karno. Kecewa? Pasti, itu adalah hasil yang negatif, tapi rasanya kekecewaan itu juga bisa berubah menjadi kebanggaan, yaitu masihlah mending kita kalah 4-0, lihatlah Timnas China, mereka malah lebih parah dipermak dengan skor 7-0, kalau begitu masih untunglah kita ya?... Timnas Jepang Unggul Segalanya Soal Timnas Jepang, tak usahlah lagi kita ragukan lagi kualitasnya, level mereka jauh diatas kita, mau dilihat dari apapun, rangking FIFA? mereka jauh diatas kita, Trofi Piala Asia? mereka langganan juara, atau mau kita banding-bandingan pengalaman di Piala Dunia? Mereka sejak 1998 rutin bermain di even 4 tahunan itu,bagaiman...