Langsung ke konten utama

Catatan Sepakbola (Bagian 1) Melawan Jepang, Kita Realistis Saja.


Tulisan ini dibuat beberapa hari setelah pertandingan Timnas Indonesia melawan Timnas Jepang dalam rangka kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Seperti yang kita ketahui, hasilnya adalah kita kalah dengan telak 4-0, menyesakkan memang, apalagi kita kalah di kandang sendiri yang dianggap "sakral" oleh pecinta sepak bola tanah air, yaitu Gelora Bung Karno.
Kecewa? Pasti, itu adalah hasil yang negatif, tapi rasanya kekecewaan itu juga bisa berubah menjadi kebanggaan, yaitu masihlah mending kita kalah 4-0, lihatlah Timnas China, mereka malah lebih parah dipermak dengan skor 7-0, kalau begitu masih untunglah kita ya?...

Timnas Jepang Unggul Segalanya
Soal Timnas Jepang, tak usahlah lagi kita ragukan lagi kualitasnya, level mereka jauh diatas kita, mau dilihat dari apapun, rangking FIFA? mereka jauh diatas kita, Trofi Piala Asia? mereka langganan juara, atau mau kita banding-bandingan pengalaman di Piala Dunia? Mereka sejak 1998 rutin bermain di even 4 tahunan itu,bagaimana dengan Indonesia? Kita pun pernah ikut sekali Piala Dunia, tapi itupun sudah lama, dan waktu kita masih bernama Hindia Belanda.

Revolusi Jepang
Saya meyakini bahwa segala sesuatu itu pasti ada prosesnya, Jepang tidak "ujug-ujug" menjadi jagoan di level Asia bahkan sekarang mereka berada di level dunia, bahkan ada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa mereka pun pernah belajar kepada kita sekitar medio 80-an, mereka belajar tentang cara pengelolaan liga kompetisi sepakbola kepada kita yang saat itu gebyar dengan kompetisi Galatama dan Perserikatannya. Selain kepada Indonesia, mereka juga berguru kepada negara lain, terutama Brazil dan negara Eropa, ini semakin membuktikan bahwa siapa yang mau belajar dengan giat, maka ia akan mendapatkan hasilnya. Pertanyaannya, kenapa kita yang dulunya dijadikan oleh mereka sebagai guru, malah tertinggal jauh oleh muridnya?
Tapi apapun itu, hasil kekalahan itu masih patut kita syukuri, kita bersyukur bisa menimba ilmu dari mereka, pemain timnas kita mendapatkan pengalaman langsung bermain melawan Jepang yang sarat dengan pemain yang berkompetisi di level Eropa. Kekalahan dari Jepang juga menyadarkan kembali dan membumikan kita pada realitas, dimana posisi timnas kita sebenarnya. Bukannya pesimis, tapi kita harus realistis saja, Jepang memang masih jauh di atas kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...