Langsung ke konten utama

MAKNA DAN KONTRIBUSI UMAT ISLAM DALAM KEMERDEKAAN INDONESIA

 

Kemerdekaan Indonesia yang sebentar lagi akan kita rayakan untuk ke-79 kalinya merupakan sebuah anugerah dan nikmat luar biasa yang telah Allah Subhanauhuwatala berikan kepada kita. Layaknya sebagai sebuah karunia, maka sudah sewajarnya kita bersyukur atas nikmat tersebut. Kemerdekaan yang kita raih dan nikmati ini, bukanlah sebuah hal yang didapat dengan cuma-cuma, tetapi di belakangnya ada sebuah pengorbanan, perjuangan, darah, air mata dan tentunya kehendak dari Yang Maha Kuasa.

Makna Kemerdekaan

Merdeka, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memliki 3 (tiga) pengertian, yang pertama adalah bebas dari belenggu ataupun penjajahan, kedua ; tidak terkena atau lepas dari berbagai tuntutan dan ketiga ; tidak terikat, tidak bergantung pada pihak atau orang tertentu dan leluasa.

Dalam pengertian yang pertama, bila kita kaitkan dengan kondisi negara kita dulu, merdeka artinya lepas dari belenggu ataupun penjajahan. Bangsa kita telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, kejadian yang bersejarah itu menandakan akan terlepasnya kita dari kolonialisme yang berlangsung selama berabad-abad waktunya. Bangsa kita telah menjalani serangkaian perjalanan yang panjang dibawah cengkeraman pendudukan Portugis, Belanda, Jepang yang tentunya mempunyai dampak yang sangat kompleks dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita hingga saat ini. Walaupun begitu, pengalaman panjang tersebut  mencapai puncaknya pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945 kita menyatakan lepas dari semua belenggu kolonialisme itu.

Untuk makna yang kedua, merdeka berarti lepas dari berbagai tuntutan, memberikan pemahaman kepada kita bahwa dengan kemerdekaan ini, jiwa dan raga kita tidak lagi terkungkung dalam cekikan penjajah yang pastinya akan menyiksa dan menyengsarakan. Tentunya kita pernah mempelajari, betapa sulitnya kehidupan pendahulu kita karena pernah terkena tuntutan untuk melaksanakan apa yang dinamakan dengan Tanam Paksa, Kerja Rodi sampai dengan menjadi Romusha, tentunya sebuah kondisi yang amat sangat menyengsarakan dan melecehkan hak-hak serta niai-nilai kemanusiaan yang seharusnya kita junjung dengan tinggi.

Dan yang ketiga, merdeka berarti tidak terikat dan tidak tergantung pada pihak tertentu. Dengan kemerdekaan yang kita miliki, kita menjadi sebuah bangsa dan negara yang memiliki kedaulatan dengan apa yang ingin kita raih atau lakukan. Nasib kita tidak lagi ditentukan oleh campur tangan pihak lain, semuanya menjadi sebuah kebebasan bagi kita tentang mau bagaimana dan ke arah mana perahu besar bangsa ini akan kita kayuh, berhasil atau tidaknya, kita sendirilah yang menentukan, karena hakikatnya kita sendiri pemilik dari bangsa ini.

Kontribusi Umat Islam dalam Kemerdekaan.

Dalam perjalanan sejarah bangsa kita, baik itu dalam periode ketika gugusan besar Nusantara ini masih berbentuk kerajaan-kerajaan, kontribusi umat islam sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Tentu kita pernah mendengar dan membaca bagaimana perjuangan dari Kerajaan Demak, Kerajaan Aceh, heroiknya perlawanan Pangeran Diponegoro yang selama 5 (lima) tahun yaitu dari tahun 1825-1830 membuat pihak Kerajaan Belanda pontang-panting sampai harus mengeluarkan biaya besar yang nyaris membangkrutkan kas keuangan mereka atau bagaimana Kerajaan Belanda harus mengirimkan sebuah pasukan khusus yang bernama Marsaussche (Marsose) untuk menggilas perlawanan yang dipimpin Teuku Umar dan Cut Nyak Dien di tanah Aceh, adalah bentuk perjuangan patriotik dari umat islam untuk membawa bangsa ini lepas dari kolonialisme. Pun begitu pula ketika di masa-masa pergerakan, ketika perjuangan tidak lagi dititik-beratkan pada perjuangan bersenjata saja, dan ketika kesadaran berorganisasi mulai muncul, maka hadirlah Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama sebagai penggerak dengan cara memberikan benih-benih rasa cinta tanah air, nasionalisme dan patriotisme dengan tetap menyatakan ketidaksetujuannya terhadap penjajahan dalam bentuk apapun.

Dari segi individu, maka muncullah nama-nama seperti Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, Agus Salim, Achmad Dahlan, Buya Hamka yang menjadi tokoh-tokoh yang mampu menggelorakan semangat anti penjajahan dengan berbagai cara dan jalannya masing-masing.

Kemerdekaan Adalah Rahmat Dari Allah

Rentetan sejarah perjuangan umat islam tidak berhenti sampai mengantar Indonesia pada gerbang kemerdekaan saja, pasaca Proklamasi atau tepatnya satu hari setelah kita merdeka, yaitu tanggal 18 Agustus 1945, para tokoh pendiri bangsa yang mayoritas beragama isam mengesahkan tentang Presiden dan Wakil Presiden, juga menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi yang sah bagi negara kita ini.

Bila kita telaah lagi kalimat-kalimat yang ada dalam Undang-Undang tersebut, terutama dalam Alinea ke-tiga, yang berbunyi “ Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Hal diatas menunjukkan bahwa rakyat Indonesia menyadari bahwa hakikatnya semua bentuk perjuangan yang dilakukan untuk meraih kemerdekaan ini semuanya akhirnya bermuara dari rahmat Allah subhanahuwata’ala, hal ini juga memberikan pengertian tentang ketawakallan bangsa kita kepada Allah dengan menyerahkan sepenuhnya urusan kepada Allah setelah memaksimalkan ikhtiar.

Dan pada akhirnya, selain bersyukur dengan kemerdekaan yang kita nikmati saat ini, harus ada ikhtiar lain yang lebih maksimal yang bis akita lakukan lagi dalam rangka mengisi kemerdekaan tersebut, kemerdekaan yang sudah kita raih dan tidak lagi kita terikat dan terbelenggu, harusnya memberi kesadaran kepada kita untuk lebih berkontribusi kepada negara dan negeri yang kita cintai ini

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Stasiun Sukabumi

Rasanya seperti baru kemarin, saya bisa leluasa masuk ke Stasiun Sukabumi, melihat keriuhan para penumpang kereta yang hendak berangkat ke Cianjur dan Bogor.  Berbekal karcis seperti kartu gapleh yang nantinya akan dibolongi oleh kondektur, para penumpang yang kebanyakan para pedagang itu berjejalan dalam suasana hiruk-pikuk di dalam gerbong. Ditingkahi dengan suara pedagang asongan dan para pengamen, semuanya bersatu dengan aroma keringat dan aroma lainnya. Semuanya saat itu belum teratur, tapi apa pedulinya, belum ada sepertinya pengaturan tempat duduk, pengamanan maksimal dari petugas keamanan dsb, sehingga saya pun dulu bisa bebas keluar masuk stasiun itu hanya untuk mengagumi sebuah jenis transportasi yang berukuran besar yaitu kereta api. Suasana tahun 90-an itu masih terekam dengan jelas, bagaimana sebuah sistem perkereta-apian saat itu masih berjalan dengan semrawut, jauh dari kata keteraturan. Lalu setelah sekian lama, saya mencoba lagi, berangkat dari titik awal Stasiun S...