Langsung ke konten utama

Menelusuri Kembali Perjalanan Ibadah Haji di Masa Kolonial Belanda.

 


Ibadah haji yang merupakan salah-satu dari Rukun Islam, merupakan ibadah yang didambakan bagi setiap orang islam di dunia ini. Banyak orang yang rela untuk mengorbankan sebagian hartanya hanya agar bisa melaksanakan ibadah haji, selain dari faktor biaya, tenaga dan pikiran juga harus dalam kondisi yang prima, dikarenakan ibadah ini memerlukan tenaga fisik yang kuat dan sehat. Semua hal tersebut yang disebutkan tadi, rupanya tidak menghalangi niat di hati setiap kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji, walaupun harus masuk dalam waiting list (daftar tunggu) yang waktunya bisa belasan bahkan puluhan tahun di negara kita ini.

Sejarah perjalanan ibadah haji juga telah berjalan cukup panjang di Indonesia. Beberapa literatur sejarah menyebutkan, bahwa perjalanan ibadah haji sudah diatur ketika masa kerajaan-kerajaan islam masih berdiri, seperti masa Kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak hingga Banten, hanya saja pada waktu itu, perjalanan ibadah haji lebih bersifat mandiri dan lepas dari campur tangan pemerintah kerajaan, lalu pada masa kolonial Belanda, negara kita yang pada waktu itu masih bernama East Indie (Hindia Belanda), mulailah pemerintahan kolonial mengurus secara serius tentang pelaksanaan ibadah haji tersebut. Bagi pemeritah kolonial, urusan haji ini memang menjadi urusan yang penting untuk mereka perhatikan, Pertama adalah, mereka menyadari bahwa ibadah haji merupakan wilayah privat dari masing-masing umat islam dan akan menjadi sangat berbahaya apabila kegiatan ini dilarang karena tentunya akan mendapatkan perlawanan dari umat islam yang bisa menyebabkan ketidakstabilan di wilayah jajahan. Yang kedua, alih-alih melarang, akhirnya pemerintah kolonial memberikan batasan-batasan yang sangat ketat bagi siapa saja yang akan berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci.

Batasan-batasan tersebut dilegal-formalkan oleh pemerintah kolonial dalam bentuk besluit (Surat Keputusan), Staatsblad (Lembaran Negara) ataupun Ordonansi (Undang-undang yang dibuat oleh Gubernur Jenderal dan Volksraad atau Dewan Rakyat), salah satu contohnya yaitu Staatsblaad No. 42 Tahun 1859 tentang syarat-syarat dan kelengkapan yang harus dimiliki oleh oleh jemaah, baik saat pra-keberangkatan ataupun pasca kedatangan kembali ke tanah air, ataupun Ordonansi 1922 tentang ketentuan teknis pembayaran tiket jemaah haji.

Biaya dan Transportasi Haji Masa Kolonial

Dalam Buku Berhaji di Masa Kolonial, tulisan dari Prof Dien Majid, biaya yang dikenakan kepada para jemaah haji saat itu adalah sebesar 150 Florin (Florin : Mata uangkerajaan  Belanda jaman dulu), 150 Florin tersebut setara dengan Rp. 37.316.379, Biaya sebesar itu adalah untuk keperluan transportasi pulang pergi saja, tidak termasuk dengan biaya makan dan minum serta akomodasi selama di tanah suci. Biaya itu harus ditambah sebesar 17 Florin atau Rp. 4.350.000 untuk mendapatkan bimbingan dari syeikh.

Sedangkan untuk transportasi ke tanah suci, pemerintah kolonial menetapkan 3 (tiga) maskapai pelayarannya yaitu Rotterdamsche Llyold, Stoomvaartmaatschappij Nederland dan , Stoomvaartmaatschappij Ocean untuk melayani perjalanan tersebut. Pelayaran tersebut bertolak dari pelabuhan Tanjung Priok Batavia menuju Jeddah dengan lama perjalanan kurang lebih 49 hari. Lamanya perjalanan tersebut tentunya memerlukan kesabaran bagi yang menjalaninya, karena selama perjalan tersebut tidak lepas dari resiko sakit ataupun penyakit menular bahkan ada yang sampai meninggal dunia

Dari peristiwa sejarah diatas, perjalanan ibadah haji memang bukan perkara mudah, sehingga diperlukan kesiapan khusus bagi yang akan menjalaninya. Semoga Allah Subhanahuwata’ala memberikan kesempatan kepada kita semua agar bisa hadir ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah yang agung dan mulia tersebut. Aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Catatan Sepakbola (Bagian 1) Melawan Jepang, Kita Realistis Saja.

Tulisan ini dibuat beberapa hari setelah pertandingan Timnas Indonesia melawan Timnas Jepang dalam rangka kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Seperti yang kita ketahui, hasilnya adalah kita kalah dengan telak 4-0, menyesakkan memang, apalagi kita kalah di kandang sendiri yang dianggap "sakral" oleh pecinta sepak bola tanah air, yaitu Gelora Bung Karno. Kecewa? Pasti, itu adalah hasil yang negatif, tapi rasanya kekecewaan itu juga bisa berubah menjadi kebanggaan, yaitu masihlah mending kita kalah 4-0, lihatlah Timnas China, mereka malah lebih parah dipermak dengan skor 7-0, kalau begitu masih untunglah kita ya?... Timnas Jepang Unggul Segalanya Soal Timnas Jepang, tak usahlah lagi kita ragukan lagi kualitasnya, level mereka jauh diatas kita, mau dilihat dari apapun, rangking FIFA? mereka jauh diatas kita, Trofi Piala Asia? mereka langganan juara, atau mau kita banding-bandingan pengalaman di Piala Dunia? Mereka sejak 1998 rutin bermain di even 4 tahunan itu,bagaiman...