Langsung ke konten utama

Menunggu di Tengah Era Kecepatan



Pernahkah kita bergumam dalam hati, "Rasanya kok baru kemarin ya hari Jum'at itu, sekarang kok sudah Jum'at lagi"?, atau mungkin begini , "perasaan baru kemarin libur tuh, tapi kok sudah masuk lagi ya". Kata-kata tersebut, walaupun mungkin hanya terucapkan dalam hati, pastilah sering terucap dari diri kita. Kita merasa waktu cepat berlalu, padahal waktu yang kita lalui, hitungannya tetap sama, 24 jam sehari dengan 60 detik di setiap menitnya.

Perasaan hari berlalu terasa cepat itu, mungkin saja karena kita hidup di jaman semuanya serba instan dan cepat. Kita hidup dimana segalanya dimudahkan. Keberadaan gawai/gadget di telapak tangan kita telah mengubah paradigma atau cara berpikir kita tentang menjalani kehidupan. Kalau dulu sebelum adanya jaringan internet dan smartphone, orang harus rela antri hanya untuk melakukan transaksi keuangan, maka kini fasilitas M-Banking telah menggantikan antrian yang mengular di bank itu, kemudian bila kita memerlukan sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari,misalnya fashion dan sebagainya, kita hanya perlu menggeser jempol kita di layar smartphone, kemudian lakukan checkout dan beberapa hari bahkan jam yang akan datang, barang tersebut akan sampai ke tempat kita, tanpa perlu lagi berdesakan, masuk ke pasar-pasar tradisional dan segala hal ikhwal lainnya yang identik dengan keribetannya. Begitupun kalau kita lapar dan haus, anda tinggal memesannya di platform ojek online, nanti ketika pesanannya datang, kita hanya tinggal menyantapnya, sungguh praktis bukan?

Segala kemudahan itu adalah sebuah keniscayaan, artinya itu adalah konsekuensi dari sebuah kemajuan jaman, kemajuan teknologi adalah sebuah hal yang bersifat dinamis, kita tentu tidak bisa mengingkari kemajuan tersebut, mengingkari atau menghindari hanya akan membuat kita semakin tergilas oleh kemajuan itu sendiri. Mungkin yang perlu dilakukan oleh kita adalah menyikapinya dengan bijak.

Semua kecepatan itu tentunya akan menimbulkan konsekuensi tersendiri, salah satunya yaitu kita akan meninggalkan sebuah fase atau tahapan yang digantikan oleh kemajuan itu sendiri, yaitu menunggu. Ya, di kala belum ada belanja online, pembayaran online, bukankah kita pernah harus menunggu untuk proses itu semua. Kita pernah menunggu untuk sebuah antrian di Bank, kita pernah menunggu majalah atau koran langganan kita dikirim oleh sang loper koran, kita juga pernah pastinya ketika menjelang hari raya I'edul Fitri berdebar menunggu pak pos datang mengantarkan kartu ucapan lebaran dari orang-orang terdekat atau sanak saudara kita, bahkan kita rela antri hanya untuk mendapat giliran menelpon lewat bilik warnet atau telepon umum koin.

Menunggu itu mengasyikkan

Bagi saya pribadi, dalam batas-batas tertentu, menunggu itu mengasyikkan. Selama proses itu, saya bisa memperhatikan berbagai hal, ketika menunggu antrian untuk diperiksa oleh dokter spesialis di sebuah rumah sakit misalnya, selama menunggu itu saya bisa melihat sekeliling bahwa saya justru harus banyak bersyukur bahwa, "oh ternyata masih ada yang sakitnya lebih parah dari saya" (tentu konteksnya bukan mensyukuri penderitaan orang lain, tapi lebih ke usaha menenangkan diri sendiri agar lebih kuat dengan rasa sakit sendiri), selain itu kadang dikala menunggu itu kita bisa bercakap-cakap ringan dan berkenalan dengan orang lain dari tempat yang jauh, lengkap dengan pengalaman mereka sendiri. Hal tersebut secara tidak sadar kadang menambah wawasan dan pengalaman kehidupan kita.

Selama menunggu juga saya bisa memperhatikan lingkungan sekitar, denyut kehidupan manusia sebagai mahluk sosial tergambar jelas disana, bagaimana karakter orang ketika menunggu antrian juga terekam disana. Ada yang santai, ada yang gelisah, ada juga yang emosional tidak sabaran dan berulang kali mendatangi meja antrian ingin untuk diprioritaskan. Dari sana secara tidak langsung gambaran karakter manusia bisa terekam dengan jelas, mungkin juga gambaran diri kita akan terekam dalam pandangan orang lain.

Lambat, menjadi Kata Terlarang di Era Serba Cepat

Kembali ke soal kecepatan, lawan kata cepat adalah lambat, maka adalah sesuatu hal yang sangat dihindari kata lambat itu dimasa ini. Kita akan urig-uringan bila koneksi kita mendadak lemot atau lambat, kita akan marah pada penyedia jasa kurir apabila paket yang kita tunggu lama datangnya, bahkan pikiran kita akan stress bila kita lambat menerima notifikasi chat WA dari teman atau relasi kerja kita, rasanya balasan yang lama dari chat yang kita kirim, akan menimbulkan tafsiran lain bahwa kita sudah bukan lagi prioritas.

Maka, nikmatilah segala kemudahan yang kita rasakan dari kemajuan teknologi ini dengan bijak, tentu tidak lupa dan serta-merta melupakan apa yang ada di sekeliling kita, baik itu lingkungan atau kehidupan sosial dengan sesama manusia. Ada saatnya, kita harus melepas sejenak interaksi dunia maya kita, beralih ke dunia nyata, dunia tempat kita dilahirkan, bukan dalam sebuah layar kecil yang kita sebut Smartphone



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Catatan Sepakbola (Bagian 1) Melawan Jepang, Kita Realistis Saja.

Tulisan ini dibuat beberapa hari setelah pertandingan Timnas Indonesia melawan Timnas Jepang dalam rangka kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Seperti yang kita ketahui, hasilnya adalah kita kalah dengan telak 4-0, menyesakkan memang, apalagi kita kalah di kandang sendiri yang dianggap "sakral" oleh pecinta sepak bola tanah air, yaitu Gelora Bung Karno. Kecewa? Pasti, itu adalah hasil yang negatif, tapi rasanya kekecewaan itu juga bisa berubah menjadi kebanggaan, yaitu masihlah mending kita kalah 4-0, lihatlah Timnas China, mereka malah lebih parah dipermak dengan skor 7-0, kalau begitu masih untunglah kita ya?... Timnas Jepang Unggul Segalanya Soal Timnas Jepang, tak usahlah lagi kita ragukan lagi kualitasnya, level mereka jauh diatas kita, mau dilihat dari apapun, rangking FIFA? mereka jauh diatas kita, Trofi Piala Asia? mereka langganan juara, atau mau kita banding-bandingan pengalaman di Piala Dunia? Mereka sejak 1998 rutin bermain di even 4 tahunan itu,bagaiman...