Langsung ke konten utama

Radio

Jadi ceritanya begini, sekitar 1 bulan yang lalu saya membeli 1 (satu) unit radio. Tiba-tiba saja terlintas keinginan untuk membeli benda itu, awalnya sih didorong karena rasa nostalgia, teringat akan hobi lama yang ditekuni jaman dahulu kala, yakni mencari sinyal frekuensi SW yang isinya mayoritas berisi siaran radio dari luar negeri.



Dulu, sebelum marak stasiun televisi (ketika TVRI menjadi channel satu-satunya) dan internet, Radio menjadi alat hiburan dan informasi pendamping dari televisi, maka tak heran, kepemilikan benda ini menjadi sesuatu yang umum di masyarakat waktu itu, termasuk saya. Saya masih ingat, radio pertama saya mereknya Jensonic. Bentuknya kecil, ditenagai oleh baterei kecil 4 (empat) biji, tapi meskipun begitu, radio ini bisa menangkap empat jenis frekuensi atau 4 Band, yaitu FM, AM, SW 1 dan SW 2. Radio itu menjadi alat kesayangan, belajar bahkan menjelang tidur pun radio itu setia menemani.

Acara yang paling menegangkan adalah sandiwara radio Misteri Gunung Merapi dengan tokoh utamanya Mak Lampir yang suara ketawanya cekikikan, acaranya itu sendiri di malam hari dan sukses membuat saya ketakutan, sehingga saya harus bersembunyi di balik selimut. Selain itu, wayang golek dari dalang tenar Asep Sunandar Sunarya menjadi obat yang mujarab sebagai pengantar tidur apabila mata ini sulit terpejam, walau samar-samar guyonan dari Si Cepot, Dewala dan Semar masih terdengar.

Awal pagi pun begitu, hari dibuka dengan siaran ceramah dari Da'i Sejuta Umat, KH Zaenudin MZ yang suaranya khas. Setelah sholat Subuh dan sambil menunggu waktu mandi untuk berangkat sekolah, suara dai kondang itu menemani, (saya masih bisa membayangkan suasana itu)...

Kemudian, suara intro pembuka dari siaran RRI dengan "Rayuan Pulau Kelapa" nya seakan menjadi penanda, bahwa jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi dan waktunya berangkat sekolah.

Sebetulnya, waktu itu saya sangat suka dengan berita RRI Jakarta, bagi saya, RRI itu keren, walau bagi sebagian orang, stasiun radio berplat merah itu membosankan, karena isinya lebih ke berita-berita yang monoton dan propaganda pemerintah orde baru saja, tapi bagi saya, mendengarkan RRI itu berarti menambah wawasan dan pengetahuan, saya bisa tahu peristiwa-peristiwa politik saat itu juga hal-hal lainnya, bahkan harga cabai keriting, kentang, bawang daun dan bawang merah di Pasar Induk Kramat Jati pun bisa diketahui. Selain itu, suara-suara khas dari para penyiarnya, menyiratkan kecerdasan dan kewibawaan.

Beranjak remaja, hobi mendengar berita ini meningkat dengan rasa penasaran ingin menjelajah radio-radio berita luar negeri, ya walaupun dengan kemampuan english saya yang masih ecek-ecek, tapi saya berusaha mencerna isi siaran dari BBC London, ABC Australia, VOA Amerika atau NHK Jepang. Nah, di waktu-waktu tertentu, radio-radio itu juga menyiarkan beritanya dalam bahasa Indonesia juga, walaupun paling lama 1 jam, tapi itu selalu saya tunggu-tunggu, saya merasa siaran berita dari luar negeri itu lebih objektif dan terbuka, tidak seperti berita kita. Momen yang paling menarik adalah malam menjelang keruntuhan rezim Pak Harto, saya mendengar kalau tidak salah dari ABC Australia, bahwa mereka meyakini bahwa Soeharto akan turun dari jabatannya besok, dan ternyata benar. Selain itu, berita tentang Timor-Timur atau Palestina dengan PLO- nya juga jarang saya lewatkan.

Tentu saja, untuk menangkap siaran dari luar negeri tersebut harus didukung oleh antena luar yang memadai, maka eksperimen pun dilakukan, mulai dari memasang kabel dan ditempelkan di dinding setinggi mungkin, bahkan mencoba menyambungkan kabel dengan tutup panci aluminium pun pernah saya lakukan, semata-mata demi siaran berita luar negeri.

Dan kini, radio itu, yang bagi sebagian orang mungkin sudah dilupakan atau terlupakan, bagi saya akan tetap menjadi teman setia. Disaat kepraktisan sudah menjadi nuansa keseharian, kalau mau kita tinggal streaming radio online saja, bagi saya memutar-mutar knob tuning radio terutama di frekuensi SW adalah sebuah kepuasan. Dan ketika menemukan sinyal dan frekuensi VOA Amerika edisi Indonesia, sensasinya itu luar biasaaaa.




Komentar

  1. mantaf ka,nostalgia banget.inget jaman dulu,ga nyangka masih ada teman yg satu hobi.Semangat terus ya untuk membuat artikelnya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Catatan Sepakbola (Bagian 1) Melawan Jepang, Kita Realistis Saja.

Tulisan ini dibuat beberapa hari setelah pertandingan Timnas Indonesia melawan Timnas Jepang dalam rangka kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Seperti yang kita ketahui, hasilnya adalah kita kalah dengan telak 4-0, menyesakkan memang, apalagi kita kalah di kandang sendiri yang dianggap "sakral" oleh pecinta sepak bola tanah air, yaitu Gelora Bung Karno. Kecewa? Pasti, itu adalah hasil yang negatif, tapi rasanya kekecewaan itu juga bisa berubah menjadi kebanggaan, yaitu masihlah mending kita kalah 4-0, lihatlah Timnas China, mereka malah lebih parah dipermak dengan skor 7-0, kalau begitu masih untunglah kita ya?... Timnas Jepang Unggul Segalanya Soal Timnas Jepang, tak usahlah lagi kita ragukan lagi kualitasnya, level mereka jauh diatas kita, mau dilihat dari apapun, rangking FIFA? mereka jauh diatas kita, Trofi Piala Asia? mereka langganan juara, atau mau kita banding-bandingan pengalaman di Piala Dunia? Mereka sejak 1998 rutin bermain di even 4 tahunan itu,bagaiman...