Langsung ke konten utama

Postingan

Ngaliweut

 Sumber Foto : Detik Food Saya tidak tahu darimana atau asal dari nasi liweut (Ejaan Sunda). Yang jelas saya menikmatinya. Bukan sekedar   rasanya yang gurih, lebih dalam lagi tentang filosofi yang terkandung dalam proses pembuatan atau ketika memakannya. Kalau dilihat dari pengertian nasi liweut itu sendiri suatu teknik memasak nasi dengan cara mencampur beras dan air, bisa air putih atau santan dalam suatu tempat khusus, bisa berupa kastrol, atau dandang untuk memasak nasi hingga matang. Nah yang unik dari nasi liweut itu sendiri adalah cara penyajiannya, biasanya nanti nasi dan lauknya dinikmati secara bersama dengan cara dihamparkan pada suatu alas ( biasanya daun pisang) dan dinikmati bersama-sama   secara lesehan. Disinilah letak filosofisnya, pembuatannya memerlukan suatu kerja kolektif, ada yang mendapat bagian mengolah   bumbu, memasak dan menjaga kestabilan api-nya, bahkan ada yang bertugas untuk mencari daun pisang sebagai alas. Hal ini semua...

Pil...Pil...Pil...

Semenjak era pemilihan pemimpin dilaksanakan secara langsung, entah sudah berapa kali saya mengikuti ritual pemilihan tersebut yang biasanya dilaksanakan dalam interval waktu 5 (lima) tahunan itu. Coba kita inventarisir, ketentuan pemilihan pemimpin secara langsung itu mulai tahun 2004, SBY waktu itu jadi Presiden Indonesia yang dipilih langsung oleh rakyat, setelah itu pemilihan gubernur, bupati hingga kepala desa mengikutinya, bahkan mungkin jarak waktunya berdekatan sekali. Maka sejak itu kita mulai mengenal istilah Pilpres, Pilgub, Pilbup sampai ke   Pilkades. Tidak ada yang salah sebenarnya, karena konstitusi mengatur demikian, disatu sisi ini merupakan penghargaan kepada rakyat, bahwa suaranya dihargai, hal ini juga bukankah sebuah tuntutan dulu di masa reformasi bahwa   pemimpin itu lebih baik dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai wujud kedaulatan rakyat? Tapi hal ini menimbulkan kejenuhan tersendiri, bahkan kalau tidak bijak menyikapinya bisa saja me...

Kopi

Saya bukanlah seorang penggemar kopi, meminumnya pun masih bisa dihitung dengan jari. Jangan tanyakan atau suruh saya membedakan   jenis kopi Robusta atau Arabika, itu sama sulitnya dengan saya harus menjawab soal-soal Fisika, Matematika atau membaca tabel unsur kimia. Yang saya tahu adalah kopi sachet yang bergantungan di warung-warung, itu pun terbatas hanya rasa kopi susu atau kopi hitam. Maka itu, saya sering tidak bisa memahami, orang bisa berlama-lama menikmati segelas kopi atau bahkan berfilosofi tentang kehidupan dengan menggunakan kopi sebagai pengibaratan.Tapi tentu itu sah-sah saja, setiap orang tentu punya seleranya masing-masing, tak elok rasanya mempermasalahkan selera, karena tiap orang punya alasannya sendiri. Tapi saya sama sekali tidak anti kopi, sesekali masih menikmatinya, terutama bila ada tugas-tugas yang mengharuskan diselesaikan hingga malam hari. Mungkin karena jarang minum kopi, setiap satu gelas kopi yang saya reguk, benar-bena...

Hari Guru

25 November kemarin diperingati sebagai Hari Guru. Seluruh puja dan puji disematkan kepada sosok sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini. Selayaknya sebagai rasa penghormatan, tak salah bila saya secara pribadi mengucapkan Selamat Hari Guru untuk seluruh bapak dan ibu guru yang pernah mendidik saya, baik secara pengajaran umum di kelas, tentang agama ataupun guru yang mengajarkan tentang kehidupan. Selama menjalani pendidikan formal, ada 2 (dua) sosok yang akan saya kenang terus selamanya. Metode belajar dan pendekatan mereka selama mengajar, benar-benar berbekas dan mengesankan. Keduanya adalah guru semasa di Sekolah Dasar, hal ini bukan berarti di jenjang-jenjang lainnya para guru yang telah mengajar saya tidak memberikan kesan yang mendalam, akan tetapi 2 (dua) sosok inilah yang memang luar biasa. Yang pertama adalah Ibu Eti namanya, beliau mengajar di kelas 3 SD. Sebelum diajar beliau, nilai rapor dan prestasi saya rasanya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa, banyak f...

Memulai Kembali

Mencoba untuk menulis lagi, sebuah gairah yang tiba-tiba muncul kembali. Tak bisa ditahan, karena memang sudah panggilan hati. Kemalasan menjadi penyakit, malas untuk menulis, malas untuk menumpahkan semua pikiran yang ada dalam pikiran, padahal ide begitu melimpah, terlalu sayang rasanya bila semuanya itu lewat begitu saja tanpa diarsipkan dalam lembaran-lembaran dunia digital. Sekarang mencoba bangkit lagi, disertai niat dan kemauan kuat, bahwa teruslah menulis, menulis untuk sebuah kehidupan.