Langsung ke konten utama

Palsu

Siapa yang suka hal-hal palsu? Tentu saja tidak ada, kita pasti marah, kecewa bila mendapatkan sesuatu yang palsu, baik itu berbentuk materi, seperti barang ataupun non-materi, contohnya seperti janji atau keterangan palsu. Naluri kita pastinya ingin yang asli, genuine atau orisinal, maka bila kita membeli sesuatu, tak apalah sedikit bersusah-payah untuk sedikit repot meneliti keaslian barang tersebut, agar tak ada rasa dongkol dan kecewa ketika barang tersebut ada di tangan kita.

Maka, ketika sekarang ada riuh-rendah tentang isu ijazah palsu mantan pemimpin, bersyukurlah masih ada yang peduli pada hal tersebut, berarti nalurinya masih bekerja. Keaslian adalah sesuatu yang mutlak yang harus dimiliki seorang pemimpin, dia terpilih menjadi orang nomor satu diantara ratusan juta manusia pastinya karena dianggap paling terbaik, maka ketika sekarang diisukan memiliki ijazah palsu (walau harus dibuktikan lebih lanjut), tentu kita kecewa kalau itu benar terjadi, rasanya 10 (sepuluh) tahun kita telah ditipu dan tertipu, rasanya pasti sakit, sesakit ketika kita mengunboxing paket yang diharapkan Hape, ternyata yang datang adalah onggokan batu bata.

Tapi apakah memang kepalsuan adalah sudah menjadi ciri kita? Sadarkah kita bahwa apa yang ada dan kita konsumsi terkena isu palsu?, beras palsu, pertamax palsu, minyak palsu sampai pernah ada isu telur pun dipalsukan. 

Jangan-jangan kita pun melakukan kepalsuan, kita bisa memasang wajah baik didepan orang, padahal aslinya dibelakangnya kita menggosipkannya, atau kita selalu berusaha menampilkan foto atau citra diri kita yang terbaik di akun medsos kita, tetapi akun itulah juga yang kita pakai untuk menghujat hal-hal yang tidak kita sukai di dunia maya.

Jangan-jangan saya pun palsu, menulis ini, bukan untuk semata menulis, tapi berharap nanti ada yang memuji dan bangga serta menjadi takabur ketika ada yang mengapresiasi...

Ah Palsu...


(Renungan pagi hari ,25 Nov 2025)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Stasiun Sukabumi

Rasanya seperti baru kemarin, saya bisa leluasa masuk ke Stasiun Sukabumi, melihat keriuhan para penumpang kereta yang hendak berangkat ke Cianjur dan Bogor.  Berbekal karcis seperti kartu gapleh yang nantinya akan dibolongi oleh kondektur, para penumpang yang kebanyakan para pedagang itu berjejalan dalam suasana hiruk-pikuk di dalam gerbong. Ditingkahi dengan suara pedagang asongan dan para pengamen, semuanya bersatu dengan aroma keringat dan aroma lainnya. Semuanya saat itu belum teratur, tapi apa pedulinya, belum ada sepertinya pengaturan tempat duduk, pengamanan maksimal dari petugas keamanan dsb, sehingga saya pun dulu bisa bebas keluar masuk stasiun itu hanya untuk mengagumi sebuah jenis transportasi yang berukuran besar yaitu kereta api. Suasana tahun 90-an itu masih terekam dengan jelas, bagaimana sebuah sistem perkereta-apian saat itu masih berjalan dengan semrawut, jauh dari kata keteraturan. Lalu setelah sekian lama, saya mencoba lagi, berangkat dari titik awal Stasiun S...