Langsung ke konten utama

Kisah Mug Lurik

Beberapa waktu yang lalu, saya membeli mug ini. Sebuah benda yang mungkin bagi sebagian besar orang bersifat biasa-biasa saja, hanya benda yang digunakan saat kita minum.

Tapi bagi saya pribadi, ini bukanlah benda biasa, banyak kenangan dengan mug corak lurik ini, terutama dengan masa lalu, kemudian juga nostalgia dengan sosok kedua orang tua saya dahulu yang kini sudah tiada.

Jadi dulu, mug model ini digunakan oleh bapak saya dan hanya ada satu-satunya di rumah, ukurannya besar dan terbuat dari enamel. Mug ini menjadi barang pribadi dan hanya boleh digunakan oleh bapak saja, sehingga saya dan kakak-kakak yang lain menjadi "terlarang" untuk menggunakannya.

Demikian pula dengan ibu, beliau selalu mewanti-wanti, bahwa mug ini adalah khusus untuk tempat minum bapak, sehingga semakin "keramat" lah posisi benda ini. Kami anak-anaknya hanya boleh menggunakan gelas yang lain dan tentu saja ukurannya lebih kecil dan beda coraknya.

Sekarang, setelah sekian lama direnungi, larangan dan wanti-wanti dari ibu itu baru bisa saya pahami sebagai sebuah didikan bagi kami khususnya saya pribadi bahwa ada barang-barang tertentu yang memang tidak boleh kita gunakan secara sembarangan, ada sebuah "privasi" walaupun itu dengan orangtua kita sendiri dan semuanya bermuara pada adab, etika dan akhlak pada orangtua. Tidak berarti barang milik orangtua otomatis kita bisa gunakan, apalagi bila barang itu milik orang lain.

Kini, mug corak lurik itu bisa saya beli, harganya pun tidak begitu mahal, cuma belasan ribu, tapi ternyata walaupun bisa saya miliki kembali bentuk fisiknya, kenangan dan nilai kehidupan yang saya dapat dari mug itu, tidak pernah terbeli dan kembali lagi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Stasiun Sukabumi

Rasanya seperti baru kemarin, saya bisa leluasa masuk ke Stasiun Sukabumi, melihat keriuhan para penumpang kereta yang hendak berangkat ke Cianjur dan Bogor.  Berbekal karcis seperti kartu gapleh yang nantinya akan dibolongi oleh kondektur, para penumpang yang kebanyakan para pedagang itu berjejalan dalam suasana hiruk-pikuk di dalam gerbong. Ditingkahi dengan suara pedagang asongan dan para pengamen, semuanya bersatu dengan aroma keringat dan aroma lainnya. Semuanya saat itu belum teratur, tapi apa pedulinya, belum ada sepertinya pengaturan tempat duduk, pengamanan maksimal dari petugas keamanan dsb, sehingga saya pun dulu bisa bebas keluar masuk stasiun itu hanya untuk mengagumi sebuah jenis transportasi yang berukuran besar yaitu kereta api. Suasana tahun 90-an itu masih terekam dengan jelas, bagaimana sebuah sistem perkereta-apian saat itu masih berjalan dengan semrawut, jauh dari kata keteraturan. Lalu setelah sekian lama, saya mencoba lagi, berangkat dari titik awal Stasiun S...