Langsung ke konten utama

Mulai Menjauh dari Medsos

Sekarang saya mulai berfikir tentang efisiensi waktu, fikiran dan juga perasaan. Betapa selama ini ada saat-saat tertentu yang dihabiskan ternyata menyita waktu dan perhatian saya. Salah satunya adalah dengan cara "menghindar" dari medsos, khususnya Facebook (FB) dan Instagram (IG).

Untuk FB, saya masih ingat akunnya dibuat tahun 2009, saat dimana booming FB mulai muncul, tiada hari tanpa melihat status teman di beranda FB, atau bahkan membuat status itu sendiri menjadi sebuah keasyikan tersendiri hingga kadang melupakan waktu, muncul rasa penasaran dengan status-status orang lain, kadang memang sekedar lucu-lucuan bahkan sampai pada level terbawa perasaan.

Saya masih ingat, saat itu jumlah pertemanan yang mengikuti akun kita akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri apabila mencapai batas tertentu, semakin banyak maka semakin kita bisa berbangga hati, padahal jumlah teman yang ribuan itu belum tentu kita kenal semuanya atau bahkan mungkin saja kita belum pernah bertemu di dunia nyata.

Jujur saja memang mengasyikkan bermain FB waktu itu, apalagi tak bisa dipungkiri bahwa pertemanan atau persahabatan yang terpisah oleh tempat dan waktu, bisa dipersatukan kembali dalam bentuk interaksi di FB. Alhasil, maka bersebaranlah grup-grup dengan didasari komunitas kita dahulu, semisal GRUP ALUMNI, GRUP KAMPUNG dsb, dan selayaknya manusia sebagai mahluk yang suka mengenang, grup-grup tersebut seperti menjadi obat rindu bagi kita yang pernah bersama tapi harus berpisah.

Munculnya Sebuah Kesadaran

Tetapi, makin kesini, keasyikan itu seperti mulai tergerus dengan sebuah kesadaran bahwa ternyata medsos tersebut mulai mengganggu alur kehidupan, Pertama,manusia yang sejatinya mahluk sosial ternyata lebih menghabiskan waktunya berinteraksi dengan teman di dunia maya dibandingkan dengan teman di dunia nyata, Kedua, inefisiensi waktu. Waktu yang seharusnya digunakan dengan efektif, produktif dan efisien, ternyata lebih banyak digunakan untuk "menengok" beranda FB. Ketiga, kita mulai memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kita pikirkan, sekarang menjadi sesuatu yang harus diperhatikan. Permasalahan pribadi orang lain yang kebetulan di share di FB dan kita baca, maka secara otomatis kita akan ikut memperhatikan, bahkan tidak menutup kemungkinan kita seperti merasa bahwa status orang lain itu sebenarnya ditujukan kepada kita, padahal belum tentu demikian. Dan yang Keempat, ruang privasi kita menjadi terbuka, dengan diuploadnya foto-foto kita, kegiatan kita, perasaan dan isi hati kita di medsos, sebetulnya membuka ruang untuk orang lain masuk ke dalam ruang pribadi kehidupan kita.

Lalu harus bagaimana?
Melihat beberapa kenyataan tersebut, saya memutuskan beberapa hal mengenai medsos, diantaranya ;
1. Memilih pertemanan.
Saya memastikan bahwa yang mengikuti akun saya adalah orang-orang yang saya kenal. Jadi bila ada yang minta diconfirm untuk menjadi teman saya, tapi tidak saya kenal, maka saya tidak akan menyetujui permohonannya.
2. Selektif dalam menshare atau mengupload foto untuk konten.
3. Sebisa mungkin untuk mengurangi intensitas memonitor FB atau IG, dengan berbagai alasan yang disebutkan diatas.

Medsos juga bermanfaat

Pada akhirnya, kuasa atas medsos ada pada diri kita, mau digunakan sebagai hal yang positif atau negatif, semuanya tergantung kita.

Saya pun belum bisa lepas dari medsos, tapi mungkin cara pandang sudah berubah, saya mulai melihat-lihat medsos untuk hal-hal yang menunjang pekerjaan, sesekali melihat update dari sahabat-sahabat yang ada di medsos, sebatas itu saja. 

Semuanya memang tergantung kepada diri kita sendiri.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Stasiun Sukabumi

Rasanya seperti baru kemarin, saya bisa leluasa masuk ke Stasiun Sukabumi, melihat keriuhan para penumpang kereta yang hendak berangkat ke Cianjur dan Bogor.  Berbekal karcis seperti kartu gapleh yang nantinya akan dibolongi oleh kondektur, para penumpang yang kebanyakan para pedagang itu berjejalan dalam suasana hiruk-pikuk di dalam gerbong. Ditingkahi dengan suara pedagang asongan dan para pengamen, semuanya bersatu dengan aroma keringat dan aroma lainnya. Semuanya saat itu belum teratur, tapi apa pedulinya, belum ada sepertinya pengaturan tempat duduk, pengamanan maksimal dari petugas keamanan dsb, sehingga saya pun dulu bisa bebas keluar masuk stasiun itu hanya untuk mengagumi sebuah jenis transportasi yang berukuran besar yaitu kereta api. Suasana tahun 90-an itu masih terekam dengan jelas, bagaimana sebuah sistem perkereta-apian saat itu masih berjalan dengan semrawut, jauh dari kata keteraturan. Lalu setelah sekian lama, saya mencoba lagi, berangkat dari titik awal Stasiun S...