Langsung ke konten utama

Film Pengkhianatan G30 S/PKI

Bukan hujan saja yang bisa dikenang dari bulan September, tapi bulan ini menyisakan sebuah kenangan yang takkan terlupakan, berbekas dan tak mudah hilang.

Entah kenapa dulu sewaktu di Sekolah Dasar bahkan sampai sekarang, yang dilihat dari bulan September ini adalah tanggal 30-nya. Karena dulu hingga tahun 1998, setiap jam 20.00, saat itu TVRI sebagai TV resmi pemerintah akan menayangkan film "Horor" Pengkhianatan G30S/PKI. 

Film yang berdurasi panjang sekitar 4 jam lebih itu bagi saya adalah sebuah "siksaan" yang harus dijalani dengan tabah karena memang tugas dari sekolah, yang besoknya harus dikumpulkan, biasanya isi tugasnya adalah kita harus mencatat siapa tokoh PKI, kronologis penculikan, hingga nama-nama pahlawan revolusi dan tentu saja peran Pak Harto sebagai tokoh utama.

Selama 4 jam itu suasana bisa sangat mencekam, alunan musik yang menyayat-nyayat, ucapan-ucapan khas dari Aidit seperti "Jawa adalah Kunci",lalu " Darah itu Merah, Jendral", hingga adegan putri Jendral Panjaitan yang mengusapkan lumuran darah ayah nya dengan jeritan 'paaapiiiihh', sukses membuat saya takut dan tidak berani bila ke kamar mandi sendiri bila malam, saya membayangkan kamar mandi seperti wilayah Lubang Buaya yang sudah dikepung oleh para Gerwani dan Pasukan Tjakrabirawa, dan mereka siap menerkam saya.( Hehehe).

Kelak kemudian setelah kuliah, saya malah menikmati Film ini, ketakutan masa lalu melahirkan keingintahuan baru, saya lalu mulai mempelajari film ini dengan mengambil referensi-refernsi lain dari buku, sehingga saya bisa mengenal siapa itu Syam Kamaruzaman, Aidit, Brigjen Soepardjo dan tokoh-tokoh lainnya dalam film itu.

Penilaian saya sampai saat ini, film ini adalah film sempurna, kemiripan wajah pemeran dengan tokoh aslinya hampir-hampir 100 persen identik, hanya pemeran Aidit saja yang menurut saya tidak mirip. Film ini juga menciptakan efek traumatik, dan propaganda yang hebat.

Sampai saat ini sering dalam kesenggangan waktu, saya menikmati kembali film ini, rasanya asyik, membandingkan setiap adegannya sambil membaca referensi buku dari para pengamat seperti Ben Anderson, Ruth M Vey, Jhon Roosa dan pengamat sejarah Indonesia lainnya seperti Asvi Warman Adam, Anhar Gonggong dll. 






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Sepakbola Tidak Menarik Lagi

Piala Dunia Sepakbola tahun 1994 di Amerika Serikat adalah waktu pertama yang boleh dibilang saya mulai menyukai menonton olahraga terpopuler sejagat ini, saya terkagum-kagum dengan penampilan timnas Belanda yang berkaos warna oranye kebanggaannya, dari ajang inilah juga saya mulai berlangganan tabloid Bola yang terbit setiap hari Jum'at, waktu itu harganya Rp 750, perlu sedikit perjuangan untuk menghemat uang saku yang tidak seberapa itu disisihkan, hanya untuk membeli tabloid ini. Kesukaan pada sepakbola ini telah mengantarkan saya pada sebuah dunia yang baru dan mengasyikkan. Dari tabloid Bola pula saya sampai hafal nama-nama pesepakbola top dari berbagai liga dunia, begitupun juga nama-nama klub, baik tingkat lokal maupun internasional. Dekade pertengahan 90-an mungkin menjadi masa yang penuh keseruan, terutama untuk penggemar Serie A Italia. Persaingan ketat 7 klub top Italia yang lebih dikenal dengan Magnificent Seven, telah membius perhatian, sehingga kabar tentang klub-kl...

Honor dari Tulisan

Bila ditanya apa kepuasan dari menulis?, bagi saya adalah ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan bisa memberikan sebuah konstruksi atau perubahan yang positif bagi yang membaca. Adapun soal honor, mungkin hanyalah bonus. Ya, menulis untuk sebuah kolom dalam surat kabar atau penerbitan memang memberikan hasil yang lumayan, walau mungkin juga tidak terlalu besar dalam hitungan nominal. Banyak para pendahulu bangsa kita dulu memiliki kemampuan yang baik dalam menulis, mereka menumpahkan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan, tak sedikit kadang terjadi "perang" opini dalam surat kabar, sebuah hal yang menguntungkan sebenarnya bagi pembacanya, karena akhirnya secara tidak langsung dicerdaskan melalui tulisan-tulisan tersebut. Pembaca bisa menyelami pemikiran tokoh-tokoh bangsa secara "genuine", dan tentu saja intelektualitas mereka bisa dinilai secara langsung oleh khalayak luas. Banyak kisah yang menyebutkan, seperti Sukarno, Hatta, Agus Salim dan Buya Ham...

Catatan Sepakbola (Bagian 1) Melawan Jepang, Kita Realistis Saja.

Tulisan ini dibuat beberapa hari setelah pertandingan Timnas Indonesia melawan Timnas Jepang dalam rangka kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Seperti yang kita ketahui, hasilnya adalah kita kalah dengan telak 4-0, menyesakkan memang, apalagi kita kalah di kandang sendiri yang dianggap "sakral" oleh pecinta sepak bola tanah air, yaitu Gelora Bung Karno. Kecewa? Pasti, itu adalah hasil yang negatif, tapi rasanya kekecewaan itu juga bisa berubah menjadi kebanggaan, yaitu masihlah mending kita kalah 4-0, lihatlah Timnas China, mereka malah lebih parah dipermak dengan skor 7-0, kalau begitu masih untunglah kita ya?... Timnas Jepang Unggul Segalanya Soal Timnas Jepang, tak usahlah lagi kita ragukan lagi kualitasnya, level mereka jauh diatas kita, mau dilihat dari apapun, rangking FIFA? mereka jauh diatas kita, Trofi Piala Asia? mereka langganan juara, atau mau kita banding-bandingan pengalaman di Piala Dunia? Mereka sejak 1998 rutin bermain di even 4 tahunan itu,bagaiman...