Beberapa hari lalu, anak saya membeli coklat batangan dengan kemasan seperti ini.
Saya kira ini adalah coklat produk terbaru, tapi ketika melihat ada cap ayam Jago nya, saya menduga sebetulnya ini adalah coklat Cap Ayam Jago yang dulu pernah hits tahun 80-90an, keyakinan saya pun bertambah ketika mencicipi rasanya,yups betul, saya yakin 2000 persen kalau coklat ini adalah reinkarnasi dari coklat Cap Ayam Jago, ternyata dia masih ada.
Dan memori pun mundur ke beberapa dekade lalu.
Tahun 80 dan 90an, di saat jaya-jayanya Orde Baru dan Pak Harto berkuasa penuh dengan sokongan ABRI dan partai Golkar-nya, Coklat ini pun eksis di dalam toples di warung-warung baik di kota maupun pedesaan. Coklat cap ayam Jago ini seakan menjadi sebuah pahlawan dari anak-anak yang kemampuan uang jajannya kurang banyak, salah satunya saya.
Ketika keinginan mencicipi coklat Silver Queen dan Cadsburry yang digambarkan sebagai coklat kasta tertinggi saat itu dibutuhkan perjuangan yang khusus karena harganya yang termasuk selangit (kalau tidak salah harganya Rp 900), maka coklat Cap ayam Jago yang harganya cuma 100 perak, seperti menjadi solusi, walau tetap rasanya tak pernah sama, dari situlah mulai saya memahami sebuah frasa bahwa "ada harga, ada rasa".
Coklat Cap Ayam Jago menjadi sebuah catatan sejarah tersendiri dalam kehidupan masa kecil saya.Sempat di suatu masa ketika beranjak dewasa, saya tidak pernah melihat lagi coklat itu di warung-warung, pikir dalam hati, mungkin perusahaan produsennya sudah tidak berproduksi lagi karena kalah saing dan kalah rasa, tapi kemudian, ketika beberapa hari lalu anak saya membelinya, ternyata coklat itu masih ada, hanya bersalin rupa dan kemasan saja. Ah, jadi kangen masa lalu.......
Komentar
Posting Komentar